Monday 23 April 2007

Grafier (part 1)


Hari itu, langit mendung. Tak ada hujan, hanya warna hitam memulas langit dengan sempurna.
Sepasang mata sendu sedang menatap jalan yang kosong, berbaur dengan sepinya malam yang mencekam. Sesekali sosok itu mendesah, menandakan kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Bola matanya mulai berkaca-kaca ketika dia menyadari malam sudah sangat larut. "Dia tidak akan datang", bisiknya dalam hati. Sosok gemulai itu pun mulai menjauhi jendela dan menghampiri sebuah kursi malas yang terletak di sudut kamar.


Sekali lagi dia mendesah. Matanya yang bulat hitam menerawang jauh, ditemani suara detak jam dinding yang menggantung anggun di hadapannya. Ia pun mendekati jam antik itu. Jemarinya menyentuh lembut grafier indah di bagian bawah jam: Rei.
Kembali ia menghela nafas.
Dihampirinya tempat tidur megah yang sudah sejak lama menunggu tuannya melepas lelah. Dia pun tertidur, hembusan nafasnya teratur menandakan kedamaian.
Dia menunggu pagi.


"Viaaaaa, kemana aja Lu? kok gak keliatan mampir ke kantin?" suara Melati memecahkan keheningan ruangan itu. Seorang gadis menoleh ke arah suara tadi sambil tersenyum simpul dan mengacungkan buku berjudul "The Open Source Introduction to Microeconomics". Melati tertawa, melangkah gontai menghampiri temannya itu. "Vi, semalem dia dateng?" Suasana hening, ada kabut kekakuan di antara dua perempuan itu. Bibir Via yang tadinya berhiaskan senyuman, kini berubah datar. Kembali matanya kosong menatap jendela kantor itu. "Dia tidak nyata Mel ..." ucapnya sambil memutar-mutar pensil yang dari tadi dia pegang. Melati terdiam, namun tak lama kemudian tertawa terbahak-bahak. "Kamu tidak akan menganggap peristiwa itu sungguh-sungguh kan? ayolah... tidakkah menurutmu itu hanya buang-buang waktu?"
Via hanya tersenyum, pandangannya beralih pada figura yang terpampang manis di atas mejanya, tak berfoto, hanya berhiaskan grafier: Rei....
Melati hanya mengangkat bahu, "Don't waste your time, my dear....", ucapnya. Matanya mengerling, kemudian berlalu meninggalkan Via yang tampak larut dalam lamunan. Kini Via terdiam dan kembali menatap figura kosong bergrafier indah itu.

Tak terasa hari telah sore. Orang-orang mulai berhamburan keluar kantor. Pulang. Sudah saatnya pulang. Via pun berjalan tergontai menuju lift, menekan tombol menuju lantai dasar. Lampu lift berkedip menandakan lift sedang menuju lantai di mana ia berdiri sekarang. Via sudah tak sabar menunggu pintu lift itu terbuka, ingin segera sampai di rumah, karena hari itu merupakan hari ke-15 dalam sistem penanggalan Masehi. Hatinya berdebar mewakili kepenasaran yang kini menghiasi dirinya, penasaran akan apa yang akan dia temui di kotak pos rumahnya kali ini.

Pintu lift pun terbuka. Tampak olehnya seorang laki-laki mengenakan jas berwarna abu-abu, menenteng sebuah koper kecil mengkilat. Sebagai perempuan yang juga mengamati perkembangan fashion, Via tau bahwa setelan orang di sampingnya itu adalah setelan pakaian borjuis. Hatinya kembali protes, "Berapa banyak anak jalanan yang bisa diberi makan jika jas dan koper itu dikonversi ke dalam rupiah ... ah, dasar orang kaya, terlalu hedon menunjukkan kekayaannya". Batinnya menggerutu, dan ntah mengapa dia merasa kali itu lift turun begitu lambatnya. Laki-laki itu berulang kali melihat jam tangannya, nampak sibuk dengan pikirannya sendiri, dan tentunya tak menyadari jika perempuan yang berada di sampingnya telah mengkritiknya habis-habisan. Pintu lift terbuka di lantai 3, terlihat tiga orang pegawai masuk dan membungkuk di hadapan laki-laki itu. Via menerka-nerka, "Mungkin laki-laki itu adalah boss mereka". Belum sempat ia berasumsi lebih jauh, pintu lift lantai satu terbuka dan Via pun melangkah ke luar lift, terburu-buru menuju pintu utama.

Di belakangnya, laki-laki itu pun menuju pintu yang sama. Dia menatap takjub sosok perempuan yang ada di depannya; siluet bertubuh ramping yang terlindungi balutan blazer berwarna hitam dengan wajah putih mungil yang terhias di balik jilbab putihnya. Sedari tadi dia berada di dalam lift bersama perempuan itu, hatinya telah banyak beristighfar pada Ilahi. Dari sudut matanya dia masih bisa melihat seraut wajah yang terlihat pucat karena lelah. Namun wajah itu menyejukkan hatinya. Sungguh ciptaan Allah Yang Maha Kuasa. Mata bulat sendu yang sempat menatap jauh menusuk hatinya ketika pintu lift lantai 10 terbuka. Tak lupa jeda yang ia alami sampai lift turun ke lantai 3, suatu jeda ketika ia hanya berdua saja dengan perempuan itu. Hatinya menangkap sinyal-sinyal aneh di udara lift yang pengap, mengingatkan dia untuk banyak beristighfar.

Ketika pintu utama itu terbuka, dilihatnya kembali sosok perempuan itu dan dia pun tertegun lama, memperhatikan sosok itu, yang seolah sudah dia kenal sejak lama. Dia berusaha mengingat, berasumsi ... mengira-ngira ....
Suara klakson mobil menghentikannya dari lamunan. Sopir pribadinya telah datang, dia pun segera menuju mobil itu, mengucap salam pada sopirnya dan duduk nyaman di belakang. Hari itu dia akan menemui seseorang...
calon istrinya.

Via mengendarai mobilnya dengan santai, mengikuti alur macet panjang yang melanda kotanya. Apalagi hari itu hari Jum'at, semua orang sepertinya ingin keluar untuk ber-week-end ria, memeriahkan jalanan kota, menambah sesak. Mobilnya merayap mengarungi jalanan, menyambut malam. Beberapa kali mobilnya berhenti cukup lama karena antrian mobil yang terlalu panjang. Ditambah lagi hujan yang turun rintik-rintik, menambah dinginnya malam. Radio yang tadinya sempat menemani sepanjang jalan kini dia matikan. Suasana pun hening, terkecuali suara rintik hujan dan klakson mobil. Via kembali mengembara dalam dunia lamunannya, menggali dan mencari penggalan-penggalan ingatan. Via melirik sebuah jam duduk di depannya, "Baru jam 6 lewat 10", pikirnya. Kemudian dia kembali tertuju pada grafier bertuliskan Rei yang menghiasi jam duduk itu. Lamunannya kembali berkelana.

Sudah berbulan-bulan lamanya, seseorang mengirimkan hadiah bergrafier ke alamat rumahnya. Tiap paket yang selalu berbungkus kertas biru, lengkap dengan pita berwarna kuning, serta kartu nama yang tercetak indah: Rei. Barang-barang yang dikirim lewat paket kilat itu semua berwarna coklat tua, dan selalu berhiaskan grafier Rei. Ntah sudah berapa kali Via mengembalikan paket itu ke kantor pos, namun dalam pemeriksaan, pihak kantor pos menyatakan bahwa paket-paket itu adalah benar ditujukan pada alamat rumah Via. Bahkan alamat pengiriman itu pun mencantumkan nama lengkapnya: Sylvia Ratina. Paket-paket itu selalu datang tanggal 15 tiap bulannya, tak ada kartu selamat, kartu ucapan, atau tulisan lainnya selain kartu bertuliskan Rei. Via pun semakin terbiasa dengan kedatangan paket-paket itu. Bahkan banyak di antaranya yang dipajang di kamar pribadi Via.

Di tengah kemacetan petang itu, Via tertegun melihat sebuah rumah megah tepat di samping mobilnya. "Rumah yang sangat bagus", gumamnya, "namun tampak tak berpenghuni" pikirnya lagi. Kekagumannya pada rumah itu terganggu dengan bunyi klakson berulang-ulang, tanda mobilnya harus segera merayap lagi. Di depan tugu tua berhiaskan patung lumba-lumba, Via membelokkan mobilnya ke kiri. Dua orang satpam kompleks perumahan mengangguk tersenyum mempersilakan mobilnya lewat. Via pun tersenyum, namun hambar. Pikirannya tertuju pada rumah mungilnya, tertuju pada kotak posnya.

Setelah memarkir mobil, Via bergegas menuju kotak pos ukuran besar dekat pintu gerbang utama rumahnya. Seperti biasa, dia mendapati kotak biru, berpita, dan berkartu nama. Ia pun duduk di beranda rumah dan membuka kotak itu. Dia termenung melihat isi kotak yang diperolehnya hari ini. Sekarang kotak itu bukan berisi barang-barang antik yang biasanya terkesan mahal. Kali ini yang diperolehnya adalah sebotol parfum ...
dan sebuah surat.

Bersambung

2 comments:

Anonymous said...

what happen next?
apakah lelaki itu kah yg mengirimkan semua hal tsb kepa via?
ditunggu next episodenya ^^

Rachmawati said...

mmm... sedang dipikirkan ini ceritanya mau dibawa ke mana =D

Popular Posts