Wednesday 20 June 2007

Grafier (part 5)

Udara Lembang yang dingin tidak menjadi penghalang dimulainya meeting pertama di villa itu.
"Ohayo...", sambil membungkukkan badannya, Tuan Akiyama menyapa hangat Via dan Melati. "Ohayo gozaimasu, Akiyama San", balas Via sambil membungkukkan badannya. Melati cuma tersenyum, dan ikut membungkukkan badannya.

Mereka duduk di depan halaman Villa itu, menikmati teh yang telah disodorkan pengurus Villa. "Ano... nihongo ga hanasemasu ka?", tanya Tuan Akiyama. "Iie, sumimasen deshita. Atashi wa Indonesia to eigo ga hanasemasu, soshite nihongo ga yomimasu. Chotto desu", ujar Via sambil tertawa dan menyentuhkan telunjuk ke ibu jarinya, menegaskan baru sedikitnya pengetahuan Via tentang bahasa negeri Sakura itu. Tuan Akiyama hanya mengangguk-ngangguk, "anata wa?", tanyanya pada Melati. Melati tersenyum simpul. "I'm really sorry, Sir. I don't speak Japanese". Tuan Akiyama tertawa mendengarnya, "hai, wakarimashita", ucap Tuan Akiyama. Kemudian dia membuka berkas-berkas yang ada di hadapan mereka dan tiba-tiba bertanya, "Ano Via San, apakah Anda sudah menikah?"

"Heeeee???", Via bengong mendengar hal itu, dan Melati tertawa kecil, menekan perutnya sendiri menahan tawa itu. Tuan Akiyama tersenyum, "saya bisa bicara bahasa Indonesia, sedikit. Kolega saya yang mengajarkannya. Dia bilang, pertanyaan pertama yang harus saya tanyakan pada Anda adalah itu, kekkon desu", ujarnya sambil tersenyum lagi. "Pertanyaan tadi tidak ada hubungannya dengan tender ini, Nona Via", Tuan Akiyama tertawa kecil sambil menikmati sarapan paginya. "Akiyama San, anata no tomodachi... dare desu ka?", tanya Via sambil meminum air putih yang dari tadi ada di hadapannya. Tuan Akiyama berhenti sejenak dari kegiatannya membaca-baca berkas itu, sedangkan Melati berkomentar sambil tersenyum, "She is so curious about the person, Sir". Tuan Akiyama tertawa, "saya mengerti. Tapi sebelumnya, saya ingin bertanya, Nona Via. Tender kita sekarang lebih berhubungan dengan produk fashion. Boleh saya tau, sepatu yang Anda pakai sekarang, Anda dapat dari mana?". Mata Melati dan Via saling bertatapan, sedangkan Tuan Akiyama tersenyum menunggu jawaban.

"Seseorang menghadiahkannya buat saya, Akiyama San", ucap Via agak ragu. "Ada yang salah dengan sepatu saya ini?", tanya Via sambil memandang sepatu hitam yang sedang dikenakannya.
"Sepatu itu memang indah, saya saja suka. Memang ada hubungannya dengan tender kita?", tanya Melati pada Tuan AKiyama.
"Sepatu yang Anda kenakan itu adalah koleksi eksklusif kami... dan merupakan salah satu produk yang akan ditenderkan kali ini. Jika Anda berhasil meyakinkan saya, perusahaan Anda akan menjadi partner sekaligus distributor perusahaan kami di bidang fashion. Sepatu itu baru akan dijual di pasaran minggu depan, di toko utama kami di Tokyo. Mungkin akan beredar di Indonesia jika negosiasi kita berjalan lancar."

Via terdiam, Melati menyahut, "strategi yang kami tawarkan, seperti yang tertera di proposal yang sedang Anda baca, Akiyama San. Kredibilitas kami dalam bidang distribusi mungkin belum layak untuk dicap berskala internasional. Namun kami yakin, distribusi produk Anda akan sukses. Wilayah pemasaran kami di Indonesia cukup luas", ucap Melati sambil tersenyum.
"Ya... saya percaya. Terlebih perusahaan tempat Anda bekerja ini mendapat rekomendasi dari kolega saya. Barangkali meeting kita ini hanya formalitas saja", ucap Tuan Akiyama sambil tertawa.

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Akiyama San. Progress report per bulan akan ada terima selama kontrak ini berjalan", ucap Via menambahkan. Tuan Akiyama menggangguk tanda setuju, "mengenai sepatu yang Anda kenakan sekarang, apakah Anda mengenal Rei-San?", tanya Tuan Akiyama. Kembali Via terdiam karena kaget, wajah putihnya semakin memucat. Melati mengantisipasi pembicaraan itu," apa hubungannya, Akiyama-San? apakah Rei San adalah kolega yang telah mengajarkan Anda bahasa Indonesia?", tanya Melati hati-hati. Tuan Akiyama tersenyum, " betul. Rei San adalah kolega saya yang sangat jenius. Ide-idenya brilian. Kalau saya bertanya di mana dia dulu kuliah, dia selalu menjawab elephant institute in Bandung. Saya sangat penasaran dengan nama kampusnya itu. Karena itu saya meminta tender ini didiskusikan di Bandung, bukan di perusahaan Anda di Jakarta", ucap Tuan Akiyama sambil tertawa. Melati tertawa dan mengalihkan pembicaraan kali itu, sejenak dia menggenggam tangan Via. Via hanya bergumam,"owh, souka...", dan menyantap sarapan paginya lebih cepat dari biasanya. Bagi Via, pagi di Lembang kali itu... terasa lebih dingin dari biasanya.

***
Kriiing... Kriing....
Andi mengerutkan dahi. "Jam 10 malam begini, siapa yang menelpon?", gumamnya dalam hati.
"Assalamu'alaikum", ucap Andi menjawab telpon itu.
"Wa'alaikumsalam Mas Andi. Ini masih di Jakarta?", ucap seseorang di sebrang telepon.
"Iya. Bagaimana kabarmu, Rei ? Kemarin aku sudah bertemu dengan gadis yang selalu kau sebut itu. Siapa dia? sampai segitunya kamu nyuruh aku pake pena kayak gitu...", ucap Andi sambil terkekeh-kekeh.
"Maafkan saya karena telah merepotkan Mas Andi. Sebelum saya memberanikan diri bertemu dengannya langsung, saya perlu bantuan Mas, saya ingin tau reaksinya", ucap Rei.
"Jadi ketika kamu minta aku ke Solo juga karena gadis itu, Rei? apa sebetulnya yang kau cari?", tanya Andi dengan nada curiga. Terdengar Rei tertawa, "iya, maaf. Tapi ada manfaatnya kan Mas... Mas Andi ketemu Mirna di Solo kan?", ucap Rei sambil tertawa lagi. Andi menyahut,"ah, kamu ini bisa saja. Jadi bagaimana sekarang, kamu sudah bertemu langsung orangnya? sapa itu namanya... aku lupa... Via? betul kan namanya Via? sudah bertemu dengannya?", tanya Andi.
Sejenak tak ada suara dari sebrang telepon, Andi pun mengerutkan dahi," Hallo... hallo. Rei?". Tak ada jawaban, hanya terdengar bunyi tak jernih akibat sinyal yang kurang kuat. "Hallo? Rei... ke mana ini anak...", Andi tampak bingung. Tut..tut...tut...tut, terdengar suara sambungan telepon yang terputus.
Andi menghela nafas, "kenapa lagi nih anak...", gumamnya dalam hati.

***
Tok...tok...tok...
Terdengar suara pintu kamar diketuk. Bergegas Via mengenakan jilbabnya, kemudian membuka pintu.
"Akiyama San???", ucapnya kaget melihat Tuan Akiyama berada di depan pintu kamarnya. "Gomen, Via San. Sudah tidur? tadi saya menelpon kolega saya, mendiskusikan hasil rapat hari ini. Dia tampak senang ketika saya menceritakan argumen-argumen Anda. Saya kira tender kali ini positif akan dimenangkan perusahaan Anda, Via San. Untuk itu, Rei San ingin berbicara dengan Anda", ucap Tuan Akiyama.

Jantung Via berdetak lebih kencang ketika mendengar nama Rei disebut. "Boleh saya tau nomor Anda? barangkali Rei San akan menghubungi Anda via ponsel", ucap Tuan Akiyama. Via terdiam, kemudian menyebutkan nomor ponselnya. Tuan Akiyama mengetikkan nomor Via di PDA-phonenya. "Terima kasih, Via San. Oyasuminasai", ucap Tuan Akiyama seraya membungkukkan badannya kemudian berlalu meninggalkan Via.
Via terdiam, memandangi Tuan Akiyama yang semakin menjauh dari tempat ia berdiri sekarang. Uban putih telah menghiasi rambut Tuan Akiyama, dan terlihat cukup jelas walau gelap malam menghiasi cakrawala langit saat itu.
Bergegas Via kembali masuk ke kamarnya, melepas jilbabnya, dan menuju tempat tidurnya. Dimatikannya lampu kamar itu, kemudian merebahkan badannya seraya mengambil selimut. Namun tak lama kemudian, ponselnya berdering. Jantung Via berdetak kencang, kaget bercampur was was. Diambilnya ponsel yang terletak di atas meja. Terlihat sebuah nomor asing muncul di layar ponselnya. Walaupun waswas, Via memberanikan diri menekan tombol yes di HP itu.

"Assalamu'alaikum...", ucap Via hati-hati.
tak ada jawaban dari sebrang telepon, hanya terdengar musik berbahasa Jepang mengalun dengan volume kecil. Via merenung sejenak, kemudian berkata, "Ano... anata wa... Rei San desu ka?
masih tak terdengar suara. Via terdiam, kemudian berucap, " moshi-moshi, dare desu ka?"
tak ada jawaban. Via pun menjauhkan HP itu dari telinganya, dan hendak menekan tombol No untuk mengakhiri pembicaraan. Namun terdengar suara samar, "Rei desu".

Via kaget, perasaan yang sama yang selalu ia rasakan ketika mendengar nama Rei. Hati-hati ia mendekatkan kembali ponsel itu ke telinganya, "Moshi-moshi, Rei San. Atashi wa Via desu. Atashi...", Via menghentikan niatnya untuk memperkenalkan diri, karena dari sebrang terdengar, "hai, wakata. Konbanwa Via San, watashi wa Rei desu". Via terdiam mendengarkan orang itu memperkenalkan dirinya. Samar ia mulai mengingat-ngingat ... suara yang tengah didengarkannya itu. Seperti de javu, Via merasa pernah mendengar suara ini, namun ntah di mana. Seseorang yang mengaku bernama Rei itu menjelaskan sesuatu dalam bahasa Jepang. Via mendengarkan, namun tidak begitu menyimak... lamunannya berputar, dia lebih tertarik untuk mengingat-ingat, suara itu... Ia ingin mengingat kapan ia pernah mendengar suara itu.

"Via San, daijobu desu ka?", pertanyaan itu mengagetkan Via dari lamunannya. "hai, daijobu desu. Arigato gozaimasu. Demo...sumimasen Rei San, I don't speak Japanese. Would you please to say again what you have told me just now?", ucap Via. Orang itu tertawa, tawa yang sangat renyah. Via mulai mengingat tawa itu, dan kembali jantungnya berdegup lebih kencang. "I think I will talk to you again tomorrow. Oyasuminasai, mata ashita". Via terdiam berselimutkan kagalauannya. Terdengar kembali orang itu berkata,"yoroshiku, Via San...". Klik, telepon itu terputus. Via terdiam beberapa lama, kemudian menarik nafas dan bergumam, "mata ashita?". Suasana kamar itu hening. Jam dinding menunjukkan waktu tepat jam 12 malam. Tak terasa air matanya menetes hangat menyentuh telapak tangannya. Ia kini ingat suara lembut, tawa renyah, dan logat bahasa itu milik siapa. Orang itu pernah menghubunginya via telepon, belum sempat bertatap muka, dan menghilang begitu saja. Hanya kabar samar bahwa orang itu berada di negeri Sakura. Via menyentuh dadanya yang kini terasa sesak, "Andre...", Via bergumam. Air mata yang terasa hangat terus mengalir di pipinya. Ingatan-ingatannya terus memaksa memutar segala kenangan yang telah lama ia sembunyikan. Sejenak logikanya terbentur pada pertanyaan-pertanyaan, " 'Rei' yang selama ini tergrafier di paket-paket yang telah ia terima, apakah itu nama orang? ataukah hanya nama merk saja? bukankah hanya kebetulan saja jika kolega Akiyama San bernama Rei? dan suara itu, mungkin hanya kebetulan saja mirip. Bukankah suara itu terakhir kali ia dengar tiga tahun yang lalu, yang tentu saja kemungkinan salah sangka lebih besar?"
dan Via pun tertidur ditemani lamunan-lamunannya.
Bersambung

Catatan:
Ohayo = selamat pagi
Ohayo gozaimasu = selamat pagi (lebih sopan daripada 'ohayo')
Ano = ummm
nihongo ga hanasemasuka = apakah Anda berbicara bahasa Jepang?
Iie=tidak
sumimasen deshita = maaf (lebih sopan daripada 'sumimasen')
Atashi wa Indonesia to eigo ga hanasemasu, soshite nihongo ga yomimasu. Chotto desu= Saya (perempuan) bisa berbicara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tapi saya bisa membaca (tulisan) Jepang. Hanya sedikit.
anata = Anda
hai = baiklah
wakarimashita = saya mengerti
kekkon = pernikahan
San = panggilan untuk sesama
anata no tomodachi... dare desu ka = teman Anda itu ... siapa ya?
souka = (ooo) begitu
gomen = maaf
oyasuminasai = selamat tidur
moshi-moshi = hallo (saat menjawab/ memulai pembicaraan via telepon)
wakata = (saya) mengetahui
konbanwa = selamat malam
daijobu desu ka = apakah Anda baik-baik saja?
arigato gozaimasu = terima kasih banyak
demo = tapi
mata ashita = sampai jumpa besok
yoroshiku = diharapkan kerja samanya ('treat me well', diucapkan ketika berperan sebagai seorang new comer)

[mohon maaf bila ada salah penerjemahan]

0 comments:

Popular Posts