Wednesday 19 March 2008

Grafier (part 6)

Kring... kring....

Ponsel itu terus berdering. Mata Via mengerjap, namun kantuk masih membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur.

Kring... kring....

"Geeze, siapa yang menelpon pagi-pagi begini?", gerutu Via dalam hati. "Hallo. Assalamuálaikum...", suara serak Via akhirnya menyahut telpon itu. Terdengar suara perempuan tertawa, "Waálaikumsalam cinta, jam segini kok belum bangun. Mau ditinggal di Bandung aja nih? Gak akan pulang ke Jakarta?"
Seketika mata Via membelalak, kemudian beranjak dari tempat tidur dan menuju cermin. Terlihat garis hitam di bawah kelopak mata tanda kurang tidur. "Memel... memangnya dah mau ke Jakarta lagi ya? Bukannya hari ini ada rapat dengan Rei San?", tanya Via. Jam dinding menunjukkan jam 4 pagi, tidur 4 jam yang Via lewati nampak belum cukup untuknya. Via mengambil sisir, kemudian duduk di depan cermin sambil mulai menyisir rambut panjangnya.

"Hmmm, Vi, kata Tuan Akiyama, yang namanya Rei itu mendadak harus kembali ke Jepun sono, jadi rapat hari ini dicancel. Lagipula, orang marketing dah nanya-nanya desain nih. Aku mesti prensentasi juga. Jadi gimana kalo pulang hari ini aja... mau ya Vi?", Melati menjelaskan. Via tertegun, "Mel, Via pengen jalan-jalan di Bandung dulu, kangen udah lama gak ke sini....".
"Aduh cinta, belanjanya nanti aja, kayak Bandung jauh aja, kan bisa ntar-ntar lagi. Yah... yah? Kalo gak, beneran ditinggal nih. Kita mu pergi jam 6. Sana siap-siap", ujar Melati. Dan klik, telepon itu terputus.

Via terdiam, diletakkannya sisir dan ponsel itu. Ia menatap lekat wajahnya di cermin. Rambut hitamnya tergerai, Ia pun merapikannya. Via menyunggingkan senyum, "tersenyumlah Via, tak ada gunanya bersedih hati". Via pun menuju kamar mandi, bersiap menuju hiruk pikuk kota Jakarta.

***
Di depan sebuah kamar lain di Villa itu, Andre tertegun, menikmati hijaunya hamparan rumput di depan Villa. Tuan Akiyama yang bersamanya asik membaca koran.
"Akiyama San, sono kanojo wa kirei desu ne?", Andre memulai pembicaraan. Tuan Akiyama menghentikan bacaannya, "dare ga? Via San wa?", tanyanya.
Andre tersenyum simpul, "haik". Diminumnya teh hijau yang sedari tadi ada di depannya.
Tuan Akiyama tertawa, "so, you come all the way from Japan to meet this girl?", sambil diletakkannya koran yang dibacanya di atas meja. "Suki desu?", tanyanya lagi.
"Iie. Boku wa... kanojo ga suki janai. Demo... daisuki", ucap Andre sambil tertawa. Tuan Akiyama pun terkekeh mendengar itu, "Why don't you meet her?".
Andre menarik nafas panjang, "I have no right to meet her". Tuan Akiyama terpekur, "You cannot solve problem by running away from it, Rei San. Whatever it is in your past, you get to establish a good future".
"Ya, I thought that I have enough courage to meet her, but...", Andre terdiam. Matanya tertuju pada dua orang perempuan yang sedang menuju tempat mereka duduk.
Perempuan itu membungkuk, "Akiyama San. Thanks for the great meeting we had. Hope our cooperation runs smoothly. We have to soon go back to Jakarta. Hope to see you soon". Tuan Akiyama pun berdiri dan membungkuk di depan kedua perempuan itu, "Doitashimashite, Via San. Wish you have a good travel to Jakarta", Tuan Akiyama memandang Andre dan Andre pun berdiri. "This is the one I've told you, Rei San", ucapnya mengenalkan Andre.

Via tertegun, ada desiran aneh di dadanya. "Yoroshiku Via San, Rei to moushimasu", ujar Andre sambil membungkukkan badannya. Via pun hanya mengangguk, sedang Melati mengamati Andre penuh curiga. "Okay, I have to pack before going back to Japan. Shall we go , Rei San?", ucap Tuan Akiyama memecah kekakuan di pagi itu. "Haik, ja ne Via San, Melati San", ucap Andre sambil membungkukkan badan dan mengikuti Tuan Akiyama.

Via dan Melati pun membungkukkan badan berbarengan. Mereka mengamati kedua laki-laki itu.
"Vi, kamu ngerasain gak sih kalo yang namanya Rei tadi itu agak aneh. Kaku banget yah, dia kan orang Indonesia, ngapain juga coba ngomong pake bahasa Jepang segala. Padahal kan bisa ngomong Indo, kan satu nusa satu bangsa satu...", Melati menghentikan perkataannya. Dilihatnya Via tertegun dengan semu merah menghiasi pipinya. Melati mengikuti arah pandang Via, dilihatnya dari jauh Rei sedang memandang Via sambil tersenyum, kemudian membungkukkan badan dan menghilang di tikungan Villa. Melati terkekeh-kekeh, "Vi... sadar Vi...". Dan Via pun tertawa, "mungkin karena dia terlalu lama di Jepang Mel...", ujarnya.
Melati tertawa lagi, "tapi dia ganteng kan Vi?", ujarnya menggoda Via. Via hanya tersenyum, semu merah masih menghiasi pipinya. Melati tertawa. Mereka pun menuju mobil yang telah terparkir di depan Villa, menuju kantor mereka di Jakarta.

***
"Hai, pacar. Aku udah nyampe di Jakarta nih...
Iya... iya, lagi bareng Via.
Nggak ah, aku gak mau ikut party.
Bukan gitu, Via lagi pengen belanja. Aku juga pengen beli tas baru, honey. Jadi sekalian nemenin Via gitu.
Yah, yang bulan kemarin kan beda lagi. Ini Louis Vitton terbaru.
Iya iya, aku gak akan belanja banyak-banyak.
Duh, beneran cinta, aku sama Via kok. Mau ngomong ma dia? mau?
ya deh
iya iya
Bye, honey".

Klik, Melati mematikan HP nya. "Vi, ngerasa gak sih kalo cowok tuh posesif. AKu kan cuma mau belanja sama kamu, mesti lapporan segala... Terus, aku juga mau belanja kan pake uangku sendiri, kenapa dia ikut repot...", Melati mengeluh.
"Hmm... mana Via tau Mel, belum pernah punya pacar. Tapi ada baiknya Memel emang ngurangin hobi belanja. Gimana?", ucap Via sambil tersenyum simpul.
Melati membelalak, "nope". Via tertawa, "lagian, Via kan gak bilang mau belanja hari ini Mel, masih cape. Mau langsung ke kantor aja. Bukannya tadi bilangnya Memel mesti nyiapin presentasi, kok malah belanja...".
"owh, itu. Yah, kamu bener Vi. Tapi presentasinya buat minggu depan... jadi gak harus aku kerjain hari ini", ucap Melati sambil tertawa.
Via terdiam, Melati pun terdiam. Mobil melaju menuju bundaran HI. "Vi, coba kamu kedipin mata kamu sebelah...", ujar melati tiba-tiba. Via langsung tertawa mendengarnya, "buat apa sih Mel, menggoda klien?".
Melati tertawa lagi, "ayolah Vi, coba", ujarnya memaksa. "Gak mau ah, apa-apaan sih Memel nih...", Via mengelak. Pak Tono yang sedari diam berkonsentrasi menyetir bergumam, "mungkin maksud neng Melati ini mau ngajarin Neng Via biar punya pacar...", ujarnya sambil tersenyum ke arah Via.
"Duh, apaan sih... nggak ah. Memel ngajarin gak bener nih...", Via cemberut. melati dan Pak Tono tertawa berbarengan.
"Nggak ko Vi, aku cuman mau tes sesuatu, ayolah coba. Kamu senyum sama aku, terus pas hitungan ke-3, kamu kedipin mata sama aku. Ayolah, nyoba sama aku kan gak haram Vi, ya kan?", ujar Memel sambil tertawa lagi. Pak Tono mesem-mesem mendengar hal itu.
"Tapi sekali aja yah...", ujar Via ragu-ragu. Melati tertawa, "ya... dicoba dulu.... Siap?", tanyanya. Kemudian Via tersenyum pada Melati. Melati tertawa, kemudian berucap "Satu dua tiga... yak!", Via kemudian mengedipkan mata kanannya. Melati terdiam sejenak, hening, beberapa saat kemudian berucap "O my God... you can make a guy fainted by winking...". Wajah Via memerah. Mereka semua tertawa.

Suasana Jakarta yang memanas, bercampur debu, menghiasi siang itu. Mobil mereka mulai merayap di tengah kemacetan kota metropolitan itu.

"You should give it a try, Vi. You are not meant to be alone forever. Not to mention the guy you're waiting for", ucap Melati. Via terdiam, hanya terlihat pandangan kosong ke luar mobil. "So, how about forgetting that guy? Rei yang kemarin itu kan cakep Vi, gimana? Kasi wink sama senyum kamu sekaliiii aja Vi, pasti deh dia langsung meleleh", ucap Melati menggoda Via. Via tersenyum, "cakep aja gak cukup Mel. Kan nyari imam, bukan nyari cover boy. Neither cover man". Mereka berdua tertawa.

Tak lama kemudian HP Via berbunyi. Nomor asing muncul di layar itu. "Hallo Assalamuálaikum", ujarnya. "Ini Tante, Vi. Ibunya Andre, masih ingat?", suara lembut menyahut dari sebrang telpon itu. Via terhenyak, reaksi yang sama kala nama Andre didengarnya, menguak tabir lama yang ia sembunyikan rapat-rapat. "Apa kabar, Tante? Sehat?", ucap Via hati-hati.
Melati memperhatikan raut wajah Via. Wajah putih itu semakin memucat seiring percakapan berlangsung.
Via menutup telpon itu, matanya berkaca-kaca. Melati bertanya ekstra hati-hati, "siapa Vi? hal penting?". Dengan terbata-bata Via berkata, "Andre Mel... Andre kecelakaan, sekarang di ruang UGD". Wajah Via makin memucat, tak ada tangis meledak, namun air mata bening mengalir di pipinya. Melati berpikir keras, "maksudmu... Andre yang itu? yang ... itu? bukannya dia lagi gak di Indo?", tanyanya memastikan.
Via terdiam, "Tante bilang, Andre sudah dua minggu ada di sini". Melati kemudian bertanya, "mau menjenguk ke sana sekarang? rumah sakit mana sih?".
Via terdiam lagi. Sesuatu bergemuruh dalam hatinya, perlahan dia berkata, "nggak Mel. Via gak mau ketemu dia".
Melati berkata, "Vi, ini saatnya kamu ngadepin kenyataan. Paling tidak temuilah dia sekali ini saja Vi. Kamu harus lepas dari belenggu masa lalu... Aku anterin ke rumah sakitnya ya".
Via menggelengkan kepala, "ada rapat penting hari ini Mel. Via mesti hadir". "Tapi kan bisa izin Vi, pasti mereka ngerti ko...", ucap Melati berusaha meyakinkan Via.
"Gak bisa Mel, ada klien dari Amerika datang hari ini. Aku harus bertemu mereka", Via berkata pelan. Pandangannya kosong. Diambilnya tisu untuk menghapus air mata.
Pak Tono bertanya, "jadi mau ke rumah sakit atau langsung ke kantor, Neng?"
"Ke kantor saja Pak", jawab Via dengan tegas.
Melati hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
AC mobil yang kontras dengan udara luar tidak lantas menyejukkan kemelut yang Via rasakan saat itu. Mobil pun melaju, berjalan bersama pikiran Via yang mulai merunut masa lalu.

***
"Jadi dia itu tipe cewek yang jual mahal?", ujar seorang perempuan yang sedang berbicara via handphonenya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Kontras dengan gaun merah menyala yang ia kenakan, selutut. High heel setinggi 5 cm menopang badannya yang tinggi, seirama dengan stocking warna hitam temaram yang membungkus kakinya. Pita hitam lebar menghiasi pinggangnya. Sebuah tas cantik berwarna hitam terselendang di tangan kiri. Ada bross bunga berwarna perak menghiasi kerah sebelah kiri.

"Aku gak suka dia campur tangan.
Ya, aku tau dia cerdas
Tidak... tidak... aku gak setuju rencana itu.
Pokoknya cari tau tentang dia.
Aku gak mau nunggu lama-lama, banyak hal lain yang harus kukerjakan.
Kenapa? masa kaya gitu aja gak bisa?
Iya... iya, aku bakal ngasi tau, don't worry.
Aku..."

Pembicaraannya terhenti, terdengar suara ketukan pintu. "I'll call you later", ucapnya menutup pembicaraan.
"Ya, masuk", ujarnya.
Pintu ruangan itu terbuka, seorang perempuan tersenyum dan mengulurkan tangannya, "selamat sore. Saya Via, mewakili bagian marketing". Disambutnya tangan itu, "hai, selamat sore. Saya Rina, senang bertemu kamu. Kita bakalan sering ketemu beberapa bulan ke depan".

Mereka berdua pun duduk. Via mulai menjelaskan berkas-berkas yang dibawanya. Rina menyimak, memperhatikan Via dengan seksama. "Hmm... cantik juga", gumamnya dalam hati.

"Animo masyarakat untuk produk ini cukup tinggi. Kami berencana menambah produksi untuk kuarta depan. Tapi saya sedang memfokuskan untuk memperlebar daerah jangkau konsumen. Saya yakin, tidak hanya perempuan kelas atas yang tertarik untuk memakai produk ini", ujar Via menjelaskan.
"Oke, aku percaya sama plan-plan kamu. Ngomong-ngomong... kamu udah berapa lama kerja di bidang ini, Via?", tanyanya sambil membenahi rambutnya yang tergerai ke depan.
Via tersenyum, "Hampir dua tahun, tapi...". Ucapannya terhenti. Matanya tertuju pada bross perak yang dipakai Rina. Bross itu bergrafier, Rei. Via memiliki bross yang sama, yang ia terima seperti bingkisan bergrafier lainnya.
"Rina, brossnya bagus. Boleh tau belinya di mana?", tanya Via hati-hati. Rina tersenyum simpul, "hadiah dari seseorang".
"Ooo... hmmm, kalo gitu kita lanjut lagi bahasannya", ucap Via kembali menjelaskan file-file yang dibawanya. Hatinya diselimuti banyak keingintahuan, namun profesionalitas memaksanya bertindak lain.

"You better be careful with me, Via", bisik Rina dalam hati.


Bersambung

0 comments:

Popular Posts