Wednesday 21 October 2009

Grafier (part 7)

Di kabin kelas bisnis sebuat pesawat jalur penerbangan Incheon-Cengkareng, terlihat seorang laki-laki sedang membaca sebuah proposal. Dahinya mengernyit sekali-kali. Tangannya dengan cekatan memulaskan stabilo pada kalimat-kalimat tertentu di proposal itu. Sekali-kali ia pun menulis komentar, bahkan menulis tanda silang besar di beberapa halaman. Matanya terlihat lelah. Ia pun melepas kaca matanya dan menyandarkan bahunya ke kursi. Ia menarik nafas panjang, seolah ingin melepaskan berbagai beban pikiran yang dirasakannya saat itu. Seorang pramugari menawarinya minum, "would you like to drink, Sir? We have juice and some wine". "Orange juice, please. And by the way, when will we arrive in Jakarta?", ucapnya. Pramugari itu pun memberinya segelas jus jeruk sambil berkata, "in one hour, Sir". "Okay, thank you", ujarnya. Jus jeruk yang diterimanya tak langsung ia minum, hanya disimpan begitu saja di atas meja. Ia memandangi gelas itu. "Almost full... or less empty?", gumamnya dalam hati. Terlihat senyum simpul di wajahnya, kemudian ia pun meminum jus itu sampai habis. "Satu jam lagi... hmm... masih lama", ia bergumam sambil melihat jam Rolexnya. Tak tersadar, ia pun tertidur.


Beberapa waktu kemudian, seorang pramugari membangunkan laki-laki itu. Terdengar pilot memberi pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Ia harus mengencangkan sabuk pengaman. Ia pun membereskan berkas-berkas di hadapannya, kemudian mengenakan jas dan kacamatanya. Tak lama kemudian pesawat pun mendarat. Udara Cengkareng ia rasakan begitu panas. Dasi coklat tua yang dikenakannya pun ia longgarkan. Masih terlihat gurat lelah di wajahnya. Ia berjalan menuju pintu keluar bandara dengan pandangan kosong. Hanya terdengar deru Samsonite yang bergesekan dengan lantai bandara.


Setelah sampai di pintu keluar, ia pun mencari sosok perempuan yang sudah janji menjemputnya hari itu. Matanya memutar, mengamati orang-orang satu per satu. Sampai akhirnya matanya tertuju pada suatu sosok. Terlihat seorang perempuan mengenakan dress warna biru muda. Sebuah tas tote warna hitam menghiasi bahunya. Perempuan itu pun melambaikan tangan sambil tersenyum girang. Sayup-sayup ia mendengar namanya dipanggil. Ia pun bergegas menuju perempuan tadi.


"How was the trip?", tanya perempuan itu sambil memeluknya. "Capek", jawabnya pendek. "Dingin sekali jawabannya. Sini kopernya aku bawain", perempuan itu pun dengan kilat mengambil Samsonitenya. Dia hanya tersenyum sambil mengacak-ngacak rambut perempuan itu, "kapan adikku ini pakai jilbab?". Perempuan itu mendelik, "aku bukan anak kecil lagi. Dan aku baru saja dari salon. Kakak merusak rambutku", ucapnya sambil membereskan rambutnya. Laki-laki itu pun tertawa, sambil kembali mengacak-acak rambut adiknya. "Rina... Rina... kalau sampai anak buahmu tahu kelakuanmu kayak gini, gak akan mereka takut sama kamu", ujar laki-laki itu sambil tertawa terbahak-bahak. Rina pun berhenti berjalan, ia menatap mata laki-laki itu. Terlihat raut acuh tak acuh di tengah tawanya. Rina pun serta merta melayangkan sebuah tinju kecil ke perut kakaknya. Laki-laki itu pun kaget, namun kembali ia tertawa keras. Bebannya serasa hilang, baur bersama hiruk pikuk bandara.


"VW?", tanyanya pada Rina setibanya di tempat parkir. "Iya, aku baru beli seminggu yang lalu", jawab Rina. "Kenapa beli mobil baru? Bukannya mobil di rumah pun gak ada yang pake?", dahinya mengernyit tanda tak setuju. "Aku udah izin sama Papa kok, lagian aku beli pake uangku sendiri", ujar Rina sambil menyalakan mesinnya. "Ok... ok, bos Rina. You can do what you want", ujarnya sambil mengenakan sabuk pengaman. Rina tersenyum lalu mulai mengemudikan mobilnya menuju kawasan Kemang.


Laki-laki itu menyandarkan bahunya ke kursi mobil. Matanya terpejam. Perjalanan itu pun hening. Jakarta yang macet berharmoni dengan teriknya panas matahari saat itu. Rina tampak serius mengemudikan mobilnya. Jari lentiknya meng-on-kan cd player, sederetan lagu Queen mendayu. "Sudah bertemu Andre?", laki-laki itu bertanya. Rina menoleh, ia terdiam sebentar. "Aku sudah menyuruh orang menyelidikinya. Tuh file-nya disitu", jemari lentiknya kembali menunjuk setumpuk berkas yang ada di depannya. Laki-laki itu mengambil berkas tadi. Dilihatnya beberapa dokumen dan beberapa foto yang ada di situ. "Perempuan ini... siapa?", tanyanya sembari memperlihatkan sebuah foto perempuan berjilbab. Rina melihat foto itu sekilas. "Aku sudah bertemu dengannya. Sepertinya dia yang bertanggungjawab memasarkan produk itu". Tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Terlihat seorang perempuan tua menyebrang. Rina menarik nafas panjang, "hampir saja", gumamnya.


Terlihat laki-laki itu kembali asik membaca dokumen-dokumen yang dipegangnya. "Kau tau Rina, kita bisa mulai bermain dari sini", ucapnya sambil memperlihatkan sebuah halaman berisikan grafik-grafik. Rina tertawa kecil, "saham? Kakak mau membeli saham perusahaan itu? Untuk apa?". Senyum manis masih menghiasi wajah Rina. Sejenak ia membetulkan letak sunglass yang sedari tadi menghiasi wajahnya. Laki-laki itu tertawa balik, "Kakak tahu, kau juga berpikiran sama kan Rina? Senyum kamu itu tidak bisa bohong. Dan sunglass-mu itu tidak bisa menyembunyikan binar matamu dari Kakak". Rina hanya menoleh sambil tertawa kecil. Laki-laki itu kembali mengacak-ngacak rambut Rina, "Apa coba yang bisa kamu sembunyikan dari Kakak?", ujarnya sambil tertawa. Kembali Rina marah, ditepisnya tangan laki-laki itu. Laki-laki itu pun tertawa, dan beberapa saat kemudian tertidur lelap. Rina memandangi wajah laki-laki itu sejenak. Kembali ia berkonsentrasi mengemudikan mobilnya. Senyum kecil menghias bibirnya, "Andre, I will make sure you pay everything", gumamnya dalam hati.



***
Di sebuah ruang VIP, terlihat seorang perempuan setengah baya duduk di samping seorang pasien. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan pasien tadi. Sayup-sayup terdengar suara pintu diketuk. Perempuan itu menyahut, "masuk saja". Seorang perempuan muda mengenakan blazer berwarna abu-abu memasuki ruangan itu. Rambutnya tertata ke belakang dengan sangat rapih. Terlihat pin berkilau menghiasi rambut itu. Tangan kirinya memegang satu buket bunga. Sebuah tas Kelly menghiasi bahu kanannya dan suara high heel yang dikenakannya terdengar sangat jelas, berirama dengan suara mesin pendeteksi jantung yang terpasang di samping pasien di ruangan itu. "Apa kabar Sayang?", perempuan setengah baya itu menyambut tamunya dengan sumringah. "kabar baik, Tante". Mereka berpelukan, terlihat senyum manis menghiasi wajah perempuan muda itu. "Gimana kabar Andre, Tante?", tanyanya. "Sudah baikan Sayang, lihat... sekarang dia tertidur sangat pulas". Perempuan muda itu memandangi Andre dengan sangat lekat. Senyum simpul menghiasi bibirnya.


"Kata Mama Nia, Daniar ada di Jakarta ya Sayang?", tanya perempuan setengah baya itu. Perempuan muda itu meletakkan buket bunga yang dari tadi dipegangnya. "Iya Tante. Kak Daniar juga bawa oleh-oleh buat Tante", ucapnya sembari mengambil bingkisan kecil dari tasnya. "Kata Kak Daniar, ini lagi trend di Seoul. Produknya baru keluar". Perempuan setengah baya itu nampak bahagia. Dibukanya bingkisan itu, terlihat sebuah bros antik berkilau dengan indahnya. "Terima kasih ya Sayang, salam buat Daniar dari Tante", ucapnya. Ia pun mempersilahkan perempuan muda itu duduk, mereka berdua pun berbincang dengan asiknya. Hampir dua jam lebih dan wajah sumringah tetap menghiasi keduanya. Tak lama kemudian terdengan bunyi HP, perempuan muda itu pun mengambil HPnya, ada sebuah sms masuk. Ia pun berkata, "maaf Tante, Rina gak bisa lama-lama. Ada meeting satu jam lagi, takutnya macet, jadi mau ke sana cepet-cepet", ujarnya sambil berdiri memohon pamit. Perempuan setengah baya itu mengiyakan dan mengantar Rina sampai pintu.


Rina pun menyusuri lorong rumah sakit itu dengan langkah gemulainya. Ia kemudian mengeluarkan HPnya dan men-dial sebuah nomor. "Hai, aku mau semua informasi tentang riwayat kesehatan Andre, terutama kecelakaan ini. Tante Nelly bilang kecelakaan Andre sekarang tidak wajar". Lama Rina berbicara dengan orang di seberang telpon itu. Hingga sebentar kemudian ada telpon lain masuk. Ia menutup pembicaraan telepon pertama. "Ya Kak?", ucapnya setelah mengklik ok untuk telepon itu. "Rina, sebelum apa-apa tuh bilang salam dulu...", terdengar nada kritikan dari seberang telpon. Rina terdiam sejenak, "AssalamuƔlaikum... Kak Daniar tersayang", ucapnya. Terdengar laki-laki di seberang telpon tertawa, "WaƔlaikumsalam. Adikku tersayang. Kakakmu ini tadi sudah bertemu dengan ... siapa itu, yang perempuan di foto itu... ummm... Via... iya namanya Via". "Terus? Cantik ya Kak orangnya?", ucap Rina sambil tertawa kecil. Sejenak ia memperhatikan tempatnya berpijak, pembicaraan panjang di telpon membuatnya tak sadar sudah berada di halaman rumah sakit. "Hmm... ya... cantik. Sangat tipe Andre sekali", ucapnya dingin. Rina menangkap perubahan nada bicara Kakaknya itu, langkahnya ia hentikan. Segera ia mengalihkan pembicaraan. "Jadi, mungkin nggak kalo kita mulai main-main dengan saham mereka?", tanyanya. "Ya, aku sudah menganalisis. Kita bisa mulai dari....", suara Daniar menjelaskan analisisnya masih terdengar jelas di seberang telpon. Namun konsentrasi Rina kini terpecah, ia terdiam melihat sosok laki-laki yang sekarang berdiri di depannya.


Laki-laki itu tersenyum dan menyapa ramah, "long time no see, Rina". Rina tertegun. Tak sadar handphone yang dipegangnya terjatuh. Laki-laki itu membantu mengambil HPnya, namun Rina malah mundur menjauh. Wajahnya memucat. Di seberang sana, Daniar kaget mendengar suara benda terjatuh. "Rina... Rina, kamu gak apa-apa?", tanyanya panik. Laki-laki itu menyodorkan HP itu ke arah Rina, dan Rina masih terdiam kaku. Wajah putihnya makin memucat. "Halo Daniar, adikmu Rina baik-baik saja", laki-laki itu menyahut. Daniar kaget, ia pun menyahut dengan nada hati-hati, "Wisnu?". "Lama tak bersua, Daniar", ucap laki-laki itu. Di seberang sana Daniar mengernyitkan dahi, ia pun kemudian berkata dengan tegasnya, "Kalian di mana? Aku akan segera ke sana. Dan jaga Rina, Wisnu. Pastikan dia baik-baik saja". Terdengar suara klik tanda telepon terputus. Wisnu menoleh ke arah Rina. Tubuh Rina terlihat ringkih dan bersandar lemas pada dinding di dekatnya. Wisnu menghampirinya, kembali Rina berusaha mundur menjauh. Pikiran Rina melayang jauh ke masa lalu, dirasakan pandangannya kabur dan tiba-tiba rasa sakit menyerang kepalanya. Ia pun tak sadarkan diri. Tubuhnya hampir terjatuh, namun Wisnu berhasil menopangnya. Laki-laki itu menarik nafas panjang. Ia mengambil HPnya, men-dial sebuah nomor, "Cancel semua meetingku hari ini."


Bersambung

0 comments:

Popular Posts