Wednesday 27 June 2007

Expensive?

Counting down menuju tanggal 27 Juli...
hu hu hu... pingin ada pintu ajaib sebenernyaaaaaaa
Miss you so much, my Indonesia ;)
"the most beautiful country in the world", -ucap salah seorang Professor saat ngobrol di coffe room-

"you are expensive girl, for my boss, not for me" ... ucap daily supervisor mengingat banyaknya zat kimia yang telah Rachma pake, zat mahal yang Rachma habiskan berliter-liter tiap minggunya.... huahahahaa >:), mari habiskan zat-zat milik negara (mantan) penjajah :P

*masih banyak negara yang belum Rachma kunjungi...
ow ow...
pingin melanglang buana mencari ilmu...
8-|

[ateuh kapan Indonesia teh bangkit... biar nyari ilmu teh gak usah jauh-jauh....
di dieu mah garing ... rame keneh di INdo....]

*mikir: deuh, gimana caranya diizinin s3 in case belum ketemu jodohnya pas dapet PhD...
Duh Mamah... aya-aya wae syarat teh....
*berdo'a: ya Allah, demi menjaga hati dan hidup ini lebih syar'i...pengen dunk... pertemuan ma jodoh Rachma dipercepat....

hihihi
:P

Oyasuminasai, minna San...

Wednesday 20 June 2007

Grafier (part 5)

Udara Lembang yang dingin tidak menjadi penghalang dimulainya meeting pertama di villa itu.
"Ohayo...", sambil membungkukkan badannya, Tuan Akiyama menyapa hangat Via dan Melati. "Ohayo gozaimasu, Akiyama San", balas Via sambil membungkukkan badannya. Melati cuma tersenyum, dan ikut membungkukkan badannya.

Mereka duduk di depan halaman Villa itu, menikmati teh yang telah disodorkan pengurus Villa. "Ano... nihongo ga hanasemasu ka?", tanya Tuan Akiyama. "Iie, sumimasen deshita. Atashi wa Indonesia to eigo ga hanasemasu, soshite nihongo ga yomimasu. Chotto desu", ujar Via sambil tertawa dan menyentuhkan telunjuk ke ibu jarinya, menegaskan baru sedikitnya pengetahuan Via tentang bahasa negeri Sakura itu. Tuan Akiyama hanya mengangguk-ngangguk, "anata wa?", tanyanya pada Melati. Melati tersenyum simpul. "I'm really sorry, Sir. I don't speak Japanese". Tuan Akiyama tertawa mendengarnya, "hai, wakarimashita", ucap Tuan Akiyama. Kemudian dia membuka berkas-berkas yang ada di hadapan mereka dan tiba-tiba bertanya, "Ano Via San, apakah Anda sudah menikah?"

"Heeeee???", Via bengong mendengar hal itu, dan Melati tertawa kecil, menekan perutnya sendiri menahan tawa itu. Tuan Akiyama tersenyum, "saya bisa bicara bahasa Indonesia, sedikit. Kolega saya yang mengajarkannya. Dia bilang, pertanyaan pertama yang harus saya tanyakan pada Anda adalah itu, kekkon desu", ujarnya sambil tersenyum lagi. "Pertanyaan tadi tidak ada hubungannya dengan tender ini, Nona Via", Tuan Akiyama tertawa kecil sambil menikmati sarapan paginya. "Akiyama San, anata no tomodachi... dare desu ka?", tanya Via sambil meminum air putih yang dari tadi ada di hadapannya. Tuan Akiyama berhenti sejenak dari kegiatannya membaca-baca berkas itu, sedangkan Melati berkomentar sambil tersenyum, "She is so curious about the person, Sir". Tuan Akiyama tertawa, "saya mengerti. Tapi sebelumnya, saya ingin bertanya, Nona Via. Tender kita sekarang lebih berhubungan dengan produk fashion. Boleh saya tau, sepatu yang Anda pakai sekarang, Anda dapat dari mana?". Mata Melati dan Via saling bertatapan, sedangkan Tuan Akiyama tersenyum menunggu jawaban.

"Seseorang menghadiahkannya buat saya, Akiyama San", ucap Via agak ragu. "Ada yang salah dengan sepatu saya ini?", tanya Via sambil memandang sepatu hitam yang sedang dikenakannya.
"Sepatu itu memang indah, saya saja suka. Memang ada hubungannya dengan tender kita?", tanya Melati pada Tuan AKiyama.
"Sepatu yang Anda kenakan itu adalah koleksi eksklusif kami... dan merupakan salah satu produk yang akan ditenderkan kali ini. Jika Anda berhasil meyakinkan saya, perusahaan Anda akan menjadi partner sekaligus distributor perusahaan kami di bidang fashion. Sepatu itu baru akan dijual di pasaran minggu depan, di toko utama kami di Tokyo. Mungkin akan beredar di Indonesia jika negosiasi kita berjalan lancar."

Via terdiam, Melati menyahut, "strategi yang kami tawarkan, seperti yang tertera di proposal yang sedang Anda baca, Akiyama San. Kredibilitas kami dalam bidang distribusi mungkin belum layak untuk dicap berskala internasional. Namun kami yakin, distribusi produk Anda akan sukses. Wilayah pemasaran kami di Indonesia cukup luas", ucap Melati sambil tersenyum.
"Ya... saya percaya. Terlebih perusahaan tempat Anda bekerja ini mendapat rekomendasi dari kolega saya. Barangkali meeting kita ini hanya formalitas saja", ucap Tuan Akiyama sambil tertawa.

"Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Akiyama San. Progress report per bulan akan ada terima selama kontrak ini berjalan", ucap Via menambahkan. Tuan Akiyama menggangguk tanda setuju, "mengenai sepatu yang Anda kenakan sekarang, apakah Anda mengenal Rei-San?", tanya Tuan Akiyama. Kembali Via terdiam karena kaget, wajah putihnya semakin memucat. Melati mengantisipasi pembicaraan itu," apa hubungannya, Akiyama-San? apakah Rei San adalah kolega yang telah mengajarkan Anda bahasa Indonesia?", tanya Melati hati-hati. Tuan Akiyama tersenyum, " betul. Rei San adalah kolega saya yang sangat jenius. Ide-idenya brilian. Kalau saya bertanya di mana dia dulu kuliah, dia selalu menjawab elephant institute in Bandung. Saya sangat penasaran dengan nama kampusnya itu. Karena itu saya meminta tender ini didiskusikan di Bandung, bukan di perusahaan Anda di Jakarta", ucap Tuan Akiyama sambil tertawa. Melati tertawa dan mengalihkan pembicaraan kali itu, sejenak dia menggenggam tangan Via. Via hanya bergumam,"owh, souka...", dan menyantap sarapan paginya lebih cepat dari biasanya. Bagi Via, pagi di Lembang kali itu... terasa lebih dingin dari biasanya.

***
Kriiing... Kriing....
Andi mengerutkan dahi. "Jam 10 malam begini, siapa yang menelpon?", gumamnya dalam hati.
"Assalamu'alaikum", ucap Andi menjawab telpon itu.
"Wa'alaikumsalam Mas Andi. Ini masih di Jakarta?", ucap seseorang di sebrang telepon.
"Iya. Bagaimana kabarmu, Rei ? Kemarin aku sudah bertemu dengan gadis yang selalu kau sebut itu. Siapa dia? sampai segitunya kamu nyuruh aku pake pena kayak gitu...", ucap Andi sambil terkekeh-kekeh.
"Maafkan saya karena telah merepotkan Mas Andi. Sebelum saya memberanikan diri bertemu dengannya langsung, saya perlu bantuan Mas, saya ingin tau reaksinya", ucap Rei.
"Jadi ketika kamu minta aku ke Solo juga karena gadis itu, Rei? apa sebetulnya yang kau cari?", tanya Andi dengan nada curiga. Terdengar Rei tertawa, "iya, maaf. Tapi ada manfaatnya kan Mas... Mas Andi ketemu Mirna di Solo kan?", ucap Rei sambil tertawa lagi. Andi menyahut,"ah, kamu ini bisa saja. Jadi bagaimana sekarang, kamu sudah bertemu langsung orangnya? sapa itu namanya... aku lupa... Via? betul kan namanya Via? sudah bertemu dengannya?", tanya Andi.
Sejenak tak ada suara dari sebrang telepon, Andi pun mengerutkan dahi," Hallo... hallo. Rei?". Tak ada jawaban, hanya terdengar bunyi tak jernih akibat sinyal yang kurang kuat. "Hallo? Rei... ke mana ini anak...", Andi tampak bingung. Tut..tut...tut...tut, terdengar suara sambungan telepon yang terputus.
Andi menghela nafas, "kenapa lagi nih anak...", gumamnya dalam hati.

***
Tok...tok...tok...
Terdengar suara pintu kamar diketuk. Bergegas Via mengenakan jilbabnya, kemudian membuka pintu.
"Akiyama San???", ucapnya kaget melihat Tuan Akiyama berada di depan pintu kamarnya. "Gomen, Via San. Sudah tidur? tadi saya menelpon kolega saya, mendiskusikan hasil rapat hari ini. Dia tampak senang ketika saya menceritakan argumen-argumen Anda. Saya kira tender kali ini positif akan dimenangkan perusahaan Anda, Via San. Untuk itu, Rei San ingin berbicara dengan Anda", ucap Tuan Akiyama.

Jantung Via berdetak lebih kencang ketika mendengar nama Rei disebut. "Boleh saya tau nomor Anda? barangkali Rei San akan menghubungi Anda via ponsel", ucap Tuan Akiyama. Via terdiam, kemudian menyebutkan nomor ponselnya. Tuan Akiyama mengetikkan nomor Via di PDA-phonenya. "Terima kasih, Via San. Oyasuminasai", ucap Tuan Akiyama seraya membungkukkan badannya kemudian berlalu meninggalkan Via.
Via terdiam, memandangi Tuan Akiyama yang semakin menjauh dari tempat ia berdiri sekarang. Uban putih telah menghiasi rambut Tuan Akiyama, dan terlihat cukup jelas walau gelap malam menghiasi cakrawala langit saat itu.
Bergegas Via kembali masuk ke kamarnya, melepas jilbabnya, dan menuju tempat tidurnya. Dimatikannya lampu kamar itu, kemudian merebahkan badannya seraya mengambil selimut. Namun tak lama kemudian, ponselnya berdering. Jantung Via berdetak kencang, kaget bercampur was was. Diambilnya ponsel yang terletak di atas meja. Terlihat sebuah nomor asing muncul di layar ponselnya. Walaupun waswas, Via memberanikan diri menekan tombol yes di HP itu.

"Assalamu'alaikum...", ucap Via hati-hati.
tak ada jawaban dari sebrang telepon, hanya terdengar musik berbahasa Jepang mengalun dengan volume kecil. Via merenung sejenak, kemudian berkata, "Ano... anata wa... Rei San desu ka?
masih tak terdengar suara. Via terdiam, kemudian berucap, " moshi-moshi, dare desu ka?"
tak ada jawaban. Via pun menjauhkan HP itu dari telinganya, dan hendak menekan tombol No untuk mengakhiri pembicaraan. Namun terdengar suara samar, "Rei desu".

Via kaget, perasaan yang sama yang selalu ia rasakan ketika mendengar nama Rei. Hati-hati ia mendekatkan kembali ponsel itu ke telinganya, "Moshi-moshi, Rei San. Atashi wa Via desu. Atashi...", Via menghentikan niatnya untuk memperkenalkan diri, karena dari sebrang terdengar, "hai, wakata. Konbanwa Via San, watashi wa Rei desu". Via terdiam mendengarkan orang itu memperkenalkan dirinya. Samar ia mulai mengingat-ngingat ... suara yang tengah didengarkannya itu. Seperti de javu, Via merasa pernah mendengar suara ini, namun ntah di mana. Seseorang yang mengaku bernama Rei itu menjelaskan sesuatu dalam bahasa Jepang. Via mendengarkan, namun tidak begitu menyimak... lamunannya berputar, dia lebih tertarik untuk mengingat-ingat, suara itu... Ia ingin mengingat kapan ia pernah mendengar suara itu.

"Via San, daijobu desu ka?", pertanyaan itu mengagetkan Via dari lamunannya. "hai, daijobu desu. Arigato gozaimasu. Demo...sumimasen Rei San, I don't speak Japanese. Would you please to say again what you have told me just now?", ucap Via. Orang itu tertawa, tawa yang sangat renyah. Via mulai mengingat tawa itu, dan kembali jantungnya berdegup lebih kencang. "I think I will talk to you again tomorrow. Oyasuminasai, mata ashita". Via terdiam berselimutkan kagalauannya. Terdengar kembali orang itu berkata,"yoroshiku, Via San...". Klik, telepon itu terputus. Via terdiam beberapa lama, kemudian menarik nafas dan bergumam, "mata ashita?". Suasana kamar itu hening. Jam dinding menunjukkan waktu tepat jam 12 malam. Tak terasa air matanya menetes hangat menyentuh telapak tangannya. Ia kini ingat suara lembut, tawa renyah, dan logat bahasa itu milik siapa. Orang itu pernah menghubunginya via telepon, belum sempat bertatap muka, dan menghilang begitu saja. Hanya kabar samar bahwa orang itu berada di negeri Sakura. Via menyentuh dadanya yang kini terasa sesak, "Andre...", Via bergumam. Air mata yang terasa hangat terus mengalir di pipinya. Ingatan-ingatannya terus memaksa memutar segala kenangan yang telah lama ia sembunyikan. Sejenak logikanya terbentur pada pertanyaan-pertanyaan, " 'Rei' yang selama ini tergrafier di paket-paket yang telah ia terima, apakah itu nama orang? ataukah hanya nama merk saja? bukankah hanya kebetulan saja jika kolega Akiyama San bernama Rei? dan suara itu, mungkin hanya kebetulan saja mirip. Bukankah suara itu terakhir kali ia dengar tiga tahun yang lalu, yang tentu saja kemungkinan salah sangka lebih besar?"
dan Via pun tertidur ditemani lamunan-lamunannya.
Bersambung

Catatan:
Ohayo = selamat pagi
Ohayo gozaimasu = selamat pagi (lebih sopan daripada 'ohayo')
Ano = ummm
nihongo ga hanasemasuka = apakah Anda berbicara bahasa Jepang?
Iie=tidak
sumimasen deshita = maaf (lebih sopan daripada 'sumimasen')
Atashi wa Indonesia to eigo ga hanasemasu, soshite nihongo ga yomimasu. Chotto desu= Saya (perempuan) bisa berbicara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tapi saya bisa membaca (tulisan) Jepang. Hanya sedikit.
anata = Anda
hai = baiklah
wakarimashita = saya mengerti
kekkon = pernikahan
San = panggilan untuk sesama
anata no tomodachi... dare desu ka = teman Anda itu ... siapa ya?
souka = (ooo) begitu
gomen = maaf
oyasuminasai = selamat tidur
moshi-moshi = hallo (saat menjawab/ memulai pembicaraan via telepon)
wakata = (saya) mengetahui
konbanwa = selamat malam
daijobu desu ka = apakah Anda baik-baik saja?
arigato gozaimasu = terima kasih banyak
demo = tapi
mata ashita = sampai jumpa besok
yoroshiku = diharapkan kerja samanya ('treat me well', diucapkan ketika berperan sebagai seorang new comer)

[mohon maaf bila ada salah penerjemahan]

Tuesday 19 June 2007

encoding... Te Ge Te Be Te

Kanojo no kao wa kawai desu ne...
TGTBT, too good to be true

Long time no 'see' I should say to that phrase
The wing is not broken like you think
It's just that
I'm not in the mood to fly
alone by myself

I wonder if you also feel
that the wind...
is getting too big
that I couldn't stay freezing any longer
should I just let the path
covered by the falling leaf?

Every time I close my eyes,
I feel that...
the time walks too fast
as we somehow learn more about life
and cheering up the day
masking the daily activities
and it is a bit tiring, isn't it?
when you probably realize
we should have more faith than estimated
but still...
our day is always beautiful as usual, isn't it?

~ mata ashita ~

Tuesday 5 June 2007

Grafier (part 4)

Tampak ruangan itu telah penuh berisikan staff-staff penting. Via pun mengambil tempat duduk dekat jendela, Melati mengikutinya dan duduk di samping Via. meja coklat berbentuk ellipse itu kini telah lengkap terisi, kecuali satu kursi ujung, dekat dengan kursi sang GM.
"Vi, tidakkah kau merasa meeting kali ini terlalu resmi?", Melati berbisik pada Via. Via hanya mengangguk karena dari ujung pintu terlihat sang GM masuk bersama seorang laki-laki berjas abu-abu. Untuk sepersekian detik, Via beradu pandang dengan laki-laki itu, namun secepatnya ia membuang muka, berpura-pura sibuk dengan berkas-berkas di hadapannya.
Laki-laki itu tersenyum, dan berjalan menuju tempat duduk yang telah disediakan untuknya, untuk kemudian membungkukkan badan di depan para peserta rapat hari itu. Pak Regar, sang GM memperkenalkan, "selamat pagi sodara-sodara sekalian. Kali ini kita kedatangan tamu penting. Beliau adalah Pak Andi, direktur anak perusahaan kita cabang Solo. Kali ini beliau akan membantu kita mendapatkan tender kerjasama bersama perusahaan Jepang...."
dan Pak Regar pun masih berceramah panjang memperkenalkan orang itu, sampai akhirnya dia mempersilahkan Andi mempresentasikan strategi yang dibawanya. Via menyimak presentasi itu dengan seksama, namun bukan materi yang menjadi titik fokusnya, melainkan sebuah pena yang terselip di saku jas presenter itu.

Jadwal coffee break pun tiba, Via membereskan agendanya yang nyaris kosong tak mencatat apapun dari rapat kali ini. Melati tertawa melihat itu, "Vi, tumben gak nyatet?". Via menoleh tersenyum, "Via laper banget Mel, gak ada energi buat nyatet. Ada juga pengen cepet-cepet coffe time". Via tertawa dan keluar dari ruangan itu. Melati mengikutinya dari belakang, "apa yang kamu tunggu di acara minum kopi Vi? kan kamu gak suka minum kopi..."
Via berhenti sebentar, "Mel, tidak ada acara rapat lagi kan? Kita pergi buat long trip nya kapan sih?". Melati mengerutkan dahi, "jam lima sore. Kenapa Vi, tampak buru-buru, ada yang ketinggalan?". Via tersenyum, "nggak Mel, cuman mau ngecek sesuatu, terus ada barang yang mau Via beli. Jadi Via kayaknya ntar jam makan siang Via mau ke mall dulu".
"Owh... mau ditemani?", Melati bertanya. "Nggak usah Mel, ntar aja kalo perlu bantuan darurat milih barang, baru Via telpon", ujar Via sambil tertawa. Tawanya terhenti ketika Andi lewat di hadapan mereka. Mata Via tertuju masih pada pena itu.
"Selamat pagi... ", sapa Andi. "Selamat pagi, Pak", ujar Melati dan Via hampir berbarengan. "Pak Regar bilang bahwa untuk tender kali ini Jakarta akan diwakili oleh Anda berdua, betul?", Andi bertanya. Via bengong, "sejak kapan dirinya ditunjuk buat jadi wakil tender?". "Iya betul Pak, asalnya tender ini akan diwakili oleh Pak Agung dari marketing, kebetulan beliau berhalangan, jadi kami dari bagian produksi yang akan menggantikannya", ucap Melati dengan lantang. Via merengut, "kok Memel gak bilang apa-apa yah?"
"Kalau begitu, semoga sukses tendernya. Saya di sini cuma sebagai konsultan saja, yang menentukan keberhasilan tender kita kali ini, ya... Anda berdua ini...", ucap Andi sambil tersenyum. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak", Via pun akhirnya berucap, ingin mengakhiri percakapan itu. Andi pun mengangguk, kemudian meninggalkan mereka berdua. Pikirannya kini dipenuhi tanya, "apakah benar ...perempuan yang barusan ia temui adalah perempuan yang selama ini diceritakan salah satu sahabatnya?". Andi mengingat percakapan di telpon tadi pagi, teman karibnya, lebih tepatnya juniornya pada saat kuliah itu bilang, "Pakailah pena yang telah kupaketkan kemarin, seharusnya sudah sampai di rumah Mas Andi hari ini. Aku ingin tau reaksinya."
Andi hanya melihat seraut wajah polos yang tentunya tak berhak ia pandang lama-lama. " Apa yang sebenarnya dia cari?", bisiknya dalam hati.

***
Via pun mengamati Andi dari jauh, kemudian berbalik mencari Melati. "Mel, kok bisa sih bagian produksi ngurusin tender?"
Melati tertawa, "Iya honey, lupa ngasi tau. Jadi semalem itu, setelah aku nelpon kamu, Pak Agung bilang kalau dia gak bisa ikut ke luar kota. Istrinya melahirkan. Lagian boss Regar juga lebih senang kalau tender kali ini kamu yang pegang."
"Heee, Via kan gak tau ini tender apa? Ah, Memel nih....", Via menggerutu. Melati tertawa lagi, sambil mengaduk kopi susu yang dipegangnya, ia berkata, "Vi, sebenernya aku juga bingung, soalnya... Pak Regar bilang, kalo klien kali ini menyebutkan nama staff yang harus mewakili tendernya. Ya nama kamu itu yang disebut....", Melati berhenti sejenak, kemudian menghabiskan kopinya. "Ikut aku Vi", ujar melati. Via tambah bingung, kemudian dia pun mengikuti Melati, menuju ruang kerja mereka. Melati menghampiri meja kerjanya dan mengambil sebuah bingkisan. "Kemarin sebetulnya ada paket khusus dialamatkan padamu, Vi. Tapi karena kamarin kamu terlalu semangat pulang ke rumah untuk mengecek grafier bulananmu itu. Jadi kusimpan dulu di meja kerjaku. Ini, bukalah", ujar Melati sambil memberikan bingkisan itu pada Via. Tangan Via bergetar menerima bingkisan berwarna biru itu, dan sejenak hatinya menebak... ada sepasang sepatu dalam bingkisan itu, mirip dengan mimpinya semalam.
Melati mengamati perubahan wajah Via, "Vi... kalau ini ada hubungannya dengan pengirim paket itu, apa tidak sebaiknya kau lupakan saja?", ujar Melati sambil memegang lengan Via yang kini tampak lebih bergetar. Via terdiam, namun sesungging senyum kembali menghiasi wajahnya dan Melati pun tersenyum, "it seems you can face it well...". Dan mereka pun tertawa. "Ayo Vi, buka kadonya, aku pengen tau", ucap Melati terlihat sangat penasaran. Via tertawa, "jadi sekarang Memel yang lebih penasaran nih?". "Ya,,,sapa juga yang gak bakal penasaran Vi... cayangku gak pernah tuh ngasi kado-kado....", ucap Melati sambil membantu Via membuka lipatan pelapis bingkisan itu. "Hmm... itu karena Memel selalu mengambil kadonya secara tunai...", ujar Via sambil tertawa. Mereka pun asik membuka bingkisan itu, "tidakkah kau pikir orang yang membungkus kado ini kurang kerjaan Vi? ngapain coba ya, ini dibungkusnya pake lapis tipis beginian..." gerutu Melati. Via hanya tertawa.

Dari sudut ruangan, terlihat seorang laki-laki berkaca mata hitam mengamati mereka berdua, ada senyum menghiasi bibirnya. "Long time no see, Via. Glad to have found you".

"Ah, apa kabar Pak? Maaf membuat Anda menunggu, ruang Pak Regar ada di sebelah sini", seorang staff perusahaan menegurnya. "Tidak apa-apa Pak, saya baru menunggu sebentar, tadi saya kesasar mencari ruangan beliau...", ucapnya ramah pada karyawan itu. "Ooo, iya, gedung ini memang terlalu besar, Pak, dulu saya waktu pertama kerja di sini, masih harus menghapal letak ruangan...", mereka berdua tertawa. Setelah sampai di depan ruangan Pak Regar, karyawan itu pun pamit. Seorang sekretaris mengonfirmasi namanya. Ia pun tersenyum dan mengangguk. "Bapak sudah menunggu dari tadi Pak, Anda dipersilahkan masuk", ujar sekretaris itu. "Terima kasih", ucapnya sambil kemudian menuju ruangan Pak Regar. Orang tua itu tersenyum, dan menghampirinya hendak memeluk, "apa kabar, Andre? Bagaimana kabar Jepang, betah tinggal di sana?", tanya Pak Regar.

Andre tersenyum, telah lama ia tak mendengar orang lain menyapa nama aslinya itu. "Jepang negara yang indah, Pak. Tapi saya kira... masih lebih indah Indonesia.", ucapnya sambil tersenyum. Pak Regar tertawa, "ooo, tentu, selain alamnya indah, gadis-gadisnya juga cantik-cantik. piye toh?". Andre tersenyum. "Atau mungkin kau sudah menemukan calon istri asal Jepang? biar anaknya sipit dan pucat kayak boneka Jepang?", Pak Regar tertawa lagi. Andi ikut tertawa, "tidak Pak, saya kira, masih lebih cantik produk dalam negeri.", ujarnya sambil tersenyum. Pak Regar pun ikut tersenyum, "Hmm... kau tak banyak berubah, Nak... Masih saja seperti dulu. Bapak kira kau sudah terbawa arus Jepang sana...", Pak Regar tersenyum kemudian mengambil secangkir kopi yang ada di depannya. "Minum kopi?", tanyanya pada Andre. "Tidak Pak, terima kasih.", ucap Andre. "Tapi sebetulnya Bapak masih penasaran, kenapa kamu merekomendasikan Via yang mewakili tender kali ini? Biasanya Bapak menempatkan dia di tender negara-negara US, karena latar pendidikan ekonominya dari sana...", ucap Pak Regar yang kemudian menyeruput kopinya. "Atau barangkali kamu lebih tau background bisnisnya cocok untuk kultur Jepang?", tanya Pak Regar lagi. Andre tersenyum, "saya merekomendasikannya justru dari laporan kepegawaian perusahaan Bapak. Saya nilai bahwa dia cocok untuk mewakili tender kali ini. Lagipula, produk yang akan ditenderkan ini adalah produk untuk perempuan, jadi saya pikir staff perempuan akan lebih cocok", ucap Andre. Pak Regar tersenyum, " kau menyukai gadis itu, Andre?". Andre yang sedang menunduk mengambil kopi di depannya, sejenak berhenti dan mengangkat wajahnya memandang Pak Regar. Pak Regar tiba-tiba tertawa, "kalau benar kau menyukainya, kau sungguh akan menjadi daftar laki-laki yang patah hati". Andre terbatuk-batuk, "maksud Bapak?", tanya Andre sedikit kaget. Pak Regar mendeham, "Bapak sering mendengar anak-anak bersenda gurau tentang hal itu. Andre, apa di tempat kuliahmu dulu ada sistem melamar anak gadis dengan menyerahkan CV?, tanya Pak Regar tiba-tiba. Kini giliran Andre yang tertawa, "seperti saya harus menyerahkan CV saya jika ingin melamar perusahaan Bapak?". Dan mereka berdua pun tertawa, larut dalam berbagai pembicaraan seputar bisnis, politik, bahkan sampai acara TV macam acaranya Tukul. Andre menjadi pendengar yang baik, dia seolah mengenang kembali negerinya yang telah lama dia rindukan.

Ketika jam dinding menunjukkan pukul 3 sore, Andre pun berpamitan pada Pak Regar. Ia bergegas menuju tempat sholat di lantai dasar, menghabiskan waktunya merenung di sana. Ia mengingat-ngingat proses kepulangannya ke Indonesia kali ini. Andre hanya punya waktu dua minggu cuti dari pekerjaannya. Perannya yang penting di perusahaan tempat ia bekerja, membuatnya gamang meninggalkan Jepang. Telah setahun lalu ia mencari alasan untuk pulang ke Indonesia, hingga tibalah perusahaannya merintis kerjasama dengan perusahaan Pak Regar, salah seorang kenalan ayahnya. Tender kali ini diwakili Tuan Akiyama, Andre hanya berperan sebagai pemantau. Semenjak kepulangannya dari Jepang kemarin, dia bahkan belum pulang ke rumah orang tuanya di Bandung. Yang ia lakukan adalah menelpon Pak Diman, supirnya, untuk menjemputnya di bandara Jakarta. Kerinduannya akan orangtua dan sanak saudara, terbentur pada kerinduannya pada sosok seorang perempuan.

Jam tangannya menunjukkan pukul 16.45, Andre pun menuju gerbang utama kantor itu, duduk di lobby. Ia menunggu rombongan perusahaan yang akan pergi ke Lembang jam 5 sore. Dan seperti dugaannya, beberapa staff sedang berkumpul di depan gedung itu. Masing-masing membawa koper. Ada dua mobil Audi yang parkir di depan gedung dan menampung barang-barang mereka. Andre berjalan gontai menuju pintu utama, berdiri sembari menunggu sopirnya datang. Andre mengamati rombongan itu dari balik kaca mata hitamnya. "Ia tidak ada", bisiknya dalam hati. Ia pun berbalik hendak kembali ke ruang lobby, namun tiba-tiba...
brukk, benda keras menubruk kakinya. Seorang perempuan terjatuh, dan sebuah koper tergeletak di dekatnya. Ia menyodorkan tangan hendak memberi bantuan, namun perempuan itu tak menyambutnya. Ia bergegas berdiri dan membungkukkan badan meminta maaf, "maaf Pak, saya tidak sengaja". Andre melepas kaca matanya dan tersenyum, "baik-baik saja? ada yang bisa saya bantu?", ucapnya. Perempuan itu hanya tersenyum, "tidak Pak, terima kasih, saya baik-baik saja", ucapnya, sungguh berlawanan dengan wajahnya yang terlihat pucat pasi karena lelah. Seorang perempuan lain membantunya dan mengucapkan terima kasih pada Andre, mereka memasuki salah satu mobil Audi itu. "Kamu gak apa-apa Vi?", ucap salah satunya. " Nggak Mel. Aduh... ini hak sepatunya ketinggian, jadi aja tadi Via susah bawa kopernya, abis tangga pintunya nyusahin gitu...." dan dialog di antara mereka masih dapat Andre dengar hingga kedua mobil Audi itu melaju meninggalkan gedung itu.

Andre tersenyum dalam hati. Kerinduannya kini terobati. Dilihatnya kembali foto berukuran 3R yang selama ini selalu menemaninya. Foto seorang gadis sedang tersenyum, mengenakan jilbab berwarna merah maroon, berlatarkan langit biru dan ombak putih pantai Ancol. Telah lama ia ingin bertemu langsung, ingin melihat dekat, ingin mengetahui jelas... wujud nyata seorang perempuan, yang tiga tahun lalu nyaris akan menjadi istrinya, Sylvia Ratina.
Ia pun menarik nafas dalam-dalam, dirasakannya udara sore Jakarta lebih segar dari biasanya. Tak lama kemudian Pak Diman pun datang, ia pun menuju mobil mercedeznya, melaju ke Bandung, kota kelahirannya. "Lagi seneng ya Pak?", tanya Pak Diman saat mobil itu sudah berada di tol Cipularang. "Iya nih Pak, saya sudah kangen sama orang-orang di rumah", ucap Andre sumringah. Pak Diman tersenyum melihat tuan mudanya terlihat ceria. "Jangan lupa nanti mampir di pom bensin ya Pak, sambil nyari tempat buat sholat Maghrib dulu", ucap Andre. Pak Diman mengangguk. Mobil itu melaju kencang menuju Bandung. Andre larut dalam lamunannya, memutar balik kenangan tiga tahun lalu.

Sementara di mobil lain, Via merenung, melihat ke arah luar jendela, pemandangan senja kota-kota yang terlewati tol Cipularang. Ia mengingat kejadian tadi, mengingat kembali wajah ramah laki-laki itu... Ada yang menarik perhatian Via, wangi parfum laki-laki itu sama seperti wangi Black XS yang diterimanya kemarin. Namun kembali ia menepis prasangkanya. Ia membayangkan, tentunya banyak sekali orang yang memakai Black XS sebagai parfum sehari-harinya. Ia pun mengingat kejadian di Solo setahun yang lalu, kepalanya terasa pening mengingat itu semua. Ia berusaha mengalihkan perhatian. Kini perhatiannya tertuju pada sepatu baru yang sedang dipakainya, sepatu yang indah, sama seperti sepatu yang dimimpikannya tadi malam. Namun kali ini, tak ada grafier timbul pada sepatu itu. "Ah, banyak sekali kejadian yang terjadi dua hari ini...", ucapnya dalam hati. Lamunannya terus melaju, dan kemudian terbentur pada tender Jepangnya kali ini. Jepang, betapa dia membenci kata itu. Kata yang mengingatkannya pada kisah tiga tahun lalu, pernikahan. Kata yang seharusnya meninggalkan image indah di benak. Namun kisah telah terlanjur menoreh luka di hati rapuhnya.

Dilihatnya Melati telah tertidur. Hatinya mengeluh, perjalanan dua setengah jam menuju Bandung terasa sangat lama. Terlalu banyak kenangan yang ada di kota kembang itu. Dan tak terasa air matanya menetes saat ia mengingat sebaris kalimat yang terbaca di surat tadi pagi, 'Via, maukah kau ikut ke Jepang bersamaku?'. Via menghapus air matanya. Jepang... hatinya bergemuruh kala mengingat kata itu, nama negara yang mengingatkannya pada satu nama, Andre Jayadiningrat.
Bersambung

Monday 4 June 2007

Finding a neverland

Senin, 4 Juni 2007
Assalamu'alaikum warahmatullah

Ini adalah surat ke-3 yang kutulis khusus untukmu
apa kabar?
sibuk dengan kerjaan, proyek, kuliah?
atau...
dakwah?

Tiap kali kuketik 'official letter' seperti ini
anganku berkelana ntah ke mana
mengira-ngira posisimu di mana
menebak-nebak figur dan kesibukanmu
dan kadang putus asa
bahwa ini hanyalah surat tak bertuan
yang mungkin tak pernah sampai kepadamu

Tentu...
hidup itu adalah seperti apa yang ada di benak manusia
dan aku pun berangan
bahwa saat ini...
Engkau sedang membaca
kata demi kata yang kutulis
dan berharap...
Engkau memahami
dan mengerti
dan bertindak...

Terkadang,
hati ini berontak dan bermain api
menantang diri memutus tali kesetiaan
kadang kesabaran ini teruji
bermain api
memutus tali kerinduan
kadang hati ini mencemaskan
bahwa mungkin,
dirimu bahkan tak pernah...
atau mungkin tak mempedulikan
kehadiranku

Terkadang,
di lorong dunia ini
aku merasakan
tak lebih dari sekedar
tulang rusuk yang hilang
yang bahkan,
dirimu pun tidak berkenan mencari
atau mungkin tidak peduli

Tentunya hatimu pun tergelitik senyum
saat membaca prolog suratku kali ini
mungkin dirimu pun bertanya-tanya
adakah berhubungan dengan surat sebelumnya
atau mungkin keningmu berkerut
dan mengingat-ngingat
surat mana yang pernah kutulis khusus untukmu :)
atau barangkali...
engkau membacanya lebih rileks
karena kali ini,
ada secangkir kopi atau susu di atas meja kerjamu
namun kadang aku bahkan menebak
bahwa suratku kali ini
akan membuatmu tambah penat
karena menambah beban pikiranmu

dan aku...
kali ini sangat mengharapkan kelapangan hatimu
sungguh mengharapkan keikhlasan...
serta keridhaanmu
untuk bersedia meluangkan waktu
mendengar keluh kesahku

Beberapa hari ini,
dan hari-hari sebelumnya
bahkan minggu dan bulan-bulan sebelumnya
Allah menghadiahkan mimpi-mimpi indah
terpaket menemani tiap jelang tidurku
cukup untuk menerbangkan angan tinggi ke awan
meluaskan keinginan sejauh mata memandang
dan menggetarkan diafragma hati
untuk kembali merenungi makna bahagia
dan jatuh cinta yang hakiki
kuterjemahkan semua
sebagai suatu hadiah pendidikan dari Illahi
suatu continues courses
yang sungguh sangat indah
menghidupkan hati
yang pernah dipaksa mati

Bahkan, masih kurasakan
genggaman erat sebuah tangan
yang pernah menyentuh jemari ini
dan mengucapkan janji
sehidup semati
di jalan Illahi Rabbi

Mungkin kini Engkau mulai merengutkan dahi
dan bertanya, tangan siapa?
mengapa? kenapa? dan bagaimana?
ataukah mungkin bukan tanya yang terbersit,
melainkan suatu rasa cemburu? :)
ah,
mungkin akan lebih tepat kalo surat ini berjudulkan 'pengakuan dosa'
karena banyak kisah yang ingin kuceritakan
yang mungkin akan sedikit menyakiti
atau menggores
integrity of your pride
tapi sungguh Engkau bisa menarik nafas lega
karena yang kuceritakan ini
hanyalah kisah-kisah
yang terjadi di dunia tak nyata
sebuah mimpi, a beautiful neverland

Mengapa kuceritakan?
aku akan menjelaskan semua
dan tentunya Engkau harus ekstra sabar
dan sungguh aku mengharapkan keridhanmu
untuk membaca surat ini...
sampai selesai

Suatu malam,
aku bermimpi
berjalan di atas bumi nan luas
di mana kau bisa menghirup udara segar dengan bebas
dan matamu bisa memandang langit nan indah
dan bisa kau rasakan
alam tersenyum ceria kepadamu
dan kudapati,
tangan ini tergenggam erat
dan tergandeng indah
terselimuti aura kebahagiaan
saat kulihat sosok
yang memegang erat jemari tanganku
berhiaskan wajah ramah
yang senantiasa tersenyum
dan menceritakan banyak kisah
menyusuri jalan panjang tak berujung
berlomba bersama waktu
'to walk... hand in hand'
menjalani watu bersama
kurasakan saat itu,
rasa bangga dan bahagia
dan kurasakan satu oase jiwa
bahwa saat berjalan di sampingnya
dan ketika kulihat senyum ramahnya
kurasakan diri ini lebih bermakna
dan saat lisannya berucap
dia bangga mendampingiku
maka sungguh kurasakan
diri ini lebih berarti
berharga

Dan mungkin Engkau pun sekarang bertanya,
siapa dia?

Aku...
terkadang merasa sangat berdosa,
jika memimpikan seseorang...
karena bukankah dunia mimpi berkorelasi dengan pikiran
dan pikiran berkorelasi dengan hati?
dan kadang aku sungguh mempertanyakan
kebersihan hati ini
bahwa mungkin terlalu banyak jelaga yang memoles
hingga aku pun tak diperkenankan
mengetahui keberadaanmu
bahwa mungkin aku belum lulus QC
hingga belum diperkenankan
bertemu denganmu

Namun,
dibalik itu semua
kadang bermain pula angan
bahwa dialah figurmu
hingga kadang kutanyakan pada Yang Kuasa
mimpi-mimpi itu...
adakah itu jawaban do'a-do'aku
bahwa aku ingin mengetahui adanya dirimu
apakah mimpi-mimpi itu
adalah bagian ta'aruf alam?
bahkan pernah kulirihkan dalam do'a

"Ya Allahu Rabbi... diakah imam itu...
bolehkah kini kuselipkan sebuah nama dalam do'a-do'aku
bolehkah kupinta kedekatan hati dengan izin-Mu Ya Rahman..."

dan aku,
kembali menatap matahari...
yang sudah mulai beranjak terbenam


Dan pada malam lain
ketika pernah kudengar lirih
janji yang terucap di tengah kegamangan jiwa
dan betapa itu telah menjadi oase tersendiri
menaburkan kesejukan hati
mengikis kejemuan diri
namun kembali kutanyakan
janji itu...
terucap indah
di dunia neverland
akankah itu nyata?

dan banyak lagi kisah lain
bertebaran di dunia mimpiku
mendidik halus
pemikiran kekanakanku
mengkritik halus
garis tipis kemanjaanku
dan menggrafier indah
rutinitas keseharianku
sungguh aku bersyukur pada Yang Kuasa
bahwa aku banyak belajar...
bahkan dari dunia mimpi
sebuah neverland

Adakah engkau penasaran isi mimpiku yang lain? :)
aku kerap merasa jemu dengan rutinitas
sering merasa bosan dengan keseharian
dan Allah Yang Maha Penyayang
menghiburku dengan mimpi-mimpi itu
adakah engkau ingin tau?

Banyak malam, ketika aku diajari
cara tepat menimang bayi
bahkan menyusui
pernah pula kurasakan sesak karena mengandung
mungkin Engkau mengerutkan dahi lagi
atau mungkin tersungging senyum?
tapi sungguh aku sering memimpikan hal-hal seperti itu
ah, mungkin karena saat itu...
dekat-dekat hari ibu nasional?

Banyak malam
ketika kumimpikan
menggendong balita
menghibur tangisnya
menyuapi makannya
mengganti bajunya
dan menemaninya bermain
melelahkan,
namun bermakna
karena saat itu,
aku sungguh merasa bahagia
ada malaikat kecil
yang kerapuhannya meminta untuk kujaga
kucintai, dan kusayangi
dan saat kupeluk erat tubuh mungilnya
kurasakan hangatnya cinta
dan rasa bangga
karena kehadiranku sangat dia butuhkan
dan kembali aku berpikir,
mungkin mimpi itu hadir
karena saat itu...
dekat-dekat hari anak nasional?

Banyak malam,
ketika aku memimpikan
menyiapkan segelas susu hangat menjelang tidur
melihat senyum ramah saat seseorang menerimanya
bahkan menyisir halus rambut seseorang
membiarkannya tidur di pangkuan
berusaha menghibur raut suatu wajah kelelahan
dan merajuk kecil raut kecemburuan
berhiaskan tawa dan canda
dan sejenak aku berpikir
jika mimpiku ada benarnya
dan jika benar itu adalah pendidikan alam
maka yang kusimpulkan...
laki-laki itu rapuh,
tingkahnya...
bagaikan anak kecil
yang meminta dimanjakan
ketegasannya...
adalah topeng kerapuhannya
dan senyumnya berucap
ia ingin dihormati
dan diakui 'keakuannya'
dan sungguh aku menginginkan konfirmasi
adakah kesimpulanku benar adanya?
dan aku mencari kelogisan
aku sering memimpikan hal-hal seperti itu,
adakah hari Bapak nasional???

Engkau tertawa?
ah,
padahal aku sungguh ingin tau jawabannya
aku...
sangat sering memimpikan hal-hal seperti itu
secara halus... dipaksa lebih dewasa
saat berhadapan dengan anak kecil dalam mimpiku
sungguh aku harus ekstra sabar
mereka sungguh sangat rewel
banyak sekali yang mereka inginkan
dalam waktu bersamaan
tapi anehnya, aku sangat menyukai peran mimpiku itu
karena kerewelan mereka
menghibur kejemuanku
karena kemanjaan mereka
membuat hidupku lebih bermakna
dan ketika menatap mata bulat tak berdosa di wajah anak kecil itu
sungguh aku menemukan...
ketentraman jiwa
aku melupakan sifat kemanjaanku sendiri
aku mengesampingkan egoku sendiri
karena anak kecil itu...
tak suka tawar menawar denganku
dia mutlak meminta diperhatikan,
disayangi, dicintai
melebihi cintaku pada diri sendiri

Dan ketika...
diriku berada dalam scene suatu 'keluarga'
maka yang kusimpulkan...
'suami lebih manja daripada anaknya'
dan aku merenung,
dan sungguh penasaran,
adakah diriku salah menyimpulkan?

Dan mimpi-mimpi yang lain
dari dunia neverland...
sering sekali mengingatkan kelalaianku
menampar halus sifat malasku
ada seraut wajah teduh
yang kerap menegurku dan bertanya
'bagaimana hafalan Qur'anmu?'
ada segurat senyum indah
yang kerap menyapaku
'bagaimana hafalan hadistnya?'
ada ajakan halus
yang dibisikkan lirih di telingaku
'shalat?'
dan ketika berdiri berhiaskan burkah putih
mengikuti gerakan seorang imam
yang nampak dekat di hati ini
dan mencium tangannya
seusai sholat
dan mendengarkannya
melantunkan surat cinta dari Yang Maha Pengasih
setujukah dirimu
jika mimpi-mimpi itu sangatlah indah?
sebuah screenshoot...
yang terkadang membuatku tersenyum getir

duhai Allah...
kapan diri ini bisa berbakti pada Sang Imam,
dan bersama-sama berjuang
meraih cinta dan keridhaan-Mu?

dan sekarang,
bagimana dengan mimpi-mimpimu,
menarikkah untuk kau bagi denganku?
bagaimana dengan kisahmu,
adakah hikmah yang ingin kau sampaikan padaku?
adakah ilmu yang ingin kau ajarkan padaku?
dan masihkah...
engkau mendo'akan aku...
seusai sholat-sholatmu?


*Gambar diambil dari web ini.

Popular Posts