Dipandanginya sepatu hitam nan indah itu. Matanya meredup ketika muncul bayang seorang manusia mendekat ke arahnya. Perlahan Via mengangkat wajahnya, dan tampaklah seorang tua berdiri bertopangkan tongkat berwarna coklat berkilapan. Orang tua itu tersenyum, " suka sepatunya?"
Via terdiam sejenak, "Bapak yang punya toko ini?". Via balik bertanya. Orang tua itu tersenyum lagi, "tidak. Bapak cuma mengantar ibu belanja". Ucapnya sambil menunjuk ke arah seorang wanita separuh baya yang berjalan anggun mendekatinya. Wanita itu tersenyum. Lipstik berwarna merah tua menghiasi bibirnya. Via tertegun. Dipandanginya kedua orang tua itu. Mereka tersenyum, binar mata teduh yang membuat Via betah berlama-lama bersama mereka.
"Ibu membelikan hadiah ini untukmu, Nak", wanita itu berkata lembut. Perlahan lengannya meraih sebuah kotak berwarna biru. Via merengut, "hadiah? dalam rangka apa?". Wanita itu hanya tersenyum, "bukalah", ucapnya.
Via membuka kado itu. Terlihat sepasang sepatu hitam bernomor sepatu 37. "Kau boleh memakainya, Nak", kembali wanita itu berkata. Via tertegun, kemudian ia pun perlahan mencoba sepatu itu. Terasa nyaman di kakinya, namun samar ia merasakan ada grafier timbul di bawah telapak kakinya. Dilepasnya sepatu itu. Cepat-cepat ia meraba bagian dalam sepatu itu. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika tangan mungilnya meraba tulisan timbul itu, Rei.
Mata sendunya memandang lekat wajah kedua orang tua yang ada di hadapannya. Mereka tersenyum. Via linglung, pandangannya mulai berkunang-kunang. Samar ia pun menghirup aroma wangi yang menyelimuti udara di sekelilingnya.
Kriiiiiiiiiiing... Kriiiiiiiiiiiiiiing ... Kriiiiiiiiiiiiiiiing
Via terbangun.
Dilihatnya sekeliling ruangan itu. "Ya Allah, ternyata tadi cuma mimpi"
Kriiiiiiiiiiing... Kriiiiiiiiiiiiiiing ...
Via pun tersadar, HPnya berdering.
"Halo..."
"Viaaaaa, kemane ajeeeeee. Aku udah nelpon berkali-kali kok gak diangkat-angkat... ampe pegel nih jari mencet redial muluuuuu...." Dari sebrang sana suara Melati terdengar sangat nyaring. Via menjauhkan handphone itu dari telinganya "Memel ngomong apa sih..."
"Vi... Via... hallo... nih anak ke mana lagi..."
"Memel, ini kan jam dua pagi... ada apa sih?" Via merengut mengamati jam duduk di atas meja.
"Cinta, aku tuh mu ngecek, kamu dah siap-siap belum? besok kan ada meeting di luar kota. Ketemu ma klien penting. Bos dah wanti-wanti musti prepare segala macem. Rencananya nih nego bisa nyampe seminggu. Ya... itung-itung refreshing aje... "
Melati tertawa. Via terdiam, masih terselimuti rasa kantuk. "Terus Via mesti nyiapin apa Mel?"
"Nyiapin diri biar fresh besok. Tidur yang nyenyak, packing barang-barang yang perlu. We'll have a great vacation for a week, honey", ucap Melati. "Hmmm....", Via bergumam. "Udah dulu ya say, bobo yang bener. Yuk ah". Klik, percakapan terputus.
Via terdiam sejenak, mengingat kembali percakapannya dengan Melati barusan, "Klien apa ampe meeting mesti seminggu???"
Kembali Via menyandarkan kepalanya menyentuh dinding. Tangan mungilnya memainkan rambutnya yang hitam legam. Setelah lama dia sadar, dia mencium wangi itu. Dilihatnya sekeliling kamar, sampai matanya tertuju pada botol EDT yang tumpah di mejanya. "Ya Allah, parfumnya tumpah", segera Via beranjak mengambil botol parfum itu. Hampir setengah isi botol itu telah menguap. Dan matanya pun tertuju pada kertas surat itu, ada yang berubah.
Diambilnya surat itu, surat yang kini kertasnya telah mengeras karena terbasahi parfum. Matanya menatap tajam tulisan yang muncul di bagian bawah. Tulisan yang sebelumnya tak terlihat saat surat itu kering. Tangannya bergetar, ada rasa sakit yang diam-diam menyelubungi hati rapuhnya.
***
"Hai, honey", Via menoleh ke arah suara itu. Melati melambaikan tangannya. Terlihat dua koper hitam menemaninya, "banyak betul ya bawaan Memel", guman Via dalam hati. Via melihat jam tangannya, jam tujuh pagi, jalan Gatot Subroto itu sudah cukup ramai, namun udara segar masih dapat dihirupnya dalam-dalam. "Memel, bawa apa aja sih ampe dua koper gitu?", Via mengamati dua koper itu, "Waaaa, Mel, koper baru ya? Via baru liat. Bagus ya... beli di mana Mel?", mata Via berbinar melihat koper-koper itu. Melati tertawa, "biasa Vi, dari cayangku tercinta."
"Ooo...", Via terkagum-kagum. "Vi, gimana EDT nya? wangi banget kan ya? Dulu cayangku suka pake itu, tapi sekarang dah ganti ke Ferari. Dia bilang biar lebih gaya...", Melati tertawa namun berhenti segera ketika wajah sahabatnya itu terlihat kaku. "Vi, kenapa?", Melati bertanya ragu-ragu. Via tertawa tiba-tiba, "nggak, gak kenapa-napa. Kayaknya Via masuk angin deh, abis tadi gak sarapan...". Melati mengamati wajah Via, kini wajah itu kembali berbinar, "kalo gak enak badan bilang ya. Jangan disembunyiin, ntar pas meeting gak ada P3K loo...", ucap Melati sambil tertawa. Via mengangguk dan tersenyum. Pikirannya mulai memanipulasi, mencari penghibur hati.
Dari arah tempat parkir kantor itu, dua orang laki-laki sedang mengamati kedua gadis itu. "Bukankah itu nona Via, Pak?", ucap salah seorang di antara mereka. "Mungkin", ucap seorangnya lagi sambil mengamati sebuah foto berukuran 3R yang telah dipegangnya sejak tadi. Bibirnya tersenyum simpul. Dimasukkannya foto itu ke dalam jas hitamnya. Tangannya mengeluarkan kacamata hitam dari saku celananya, mengambil Macbook pronya, dan bergegas keluar dari mobil itu. "Pak Diman, ini akan tetap jadi rahasia", ucapnya pada sopir itu. Pak Diman tersenyum dan mengangguk. Mobil Mercedez itu pun melaju meninggalkan laki-laki berkaca mata hitam itu. Kembali dia mengamati Via dari jauh, "Yoroshiku, Via", gumamnya dalam hati. Ia pun memasuki gerbang utama kantor itu, menghadap resepsionis, dan bergegas menuju ruang meeting.
Bersambung
*Gambar diambil dari web ini dan ini.
Via terdiam sejenak, "Bapak yang punya toko ini?". Via balik bertanya. Orang tua itu tersenyum lagi, "tidak. Bapak cuma mengantar ibu belanja". Ucapnya sambil menunjuk ke arah seorang wanita separuh baya yang berjalan anggun mendekatinya. Wanita itu tersenyum. Lipstik berwarna merah tua menghiasi bibirnya. Via tertegun. Dipandanginya kedua orang tua itu. Mereka tersenyum, binar mata teduh yang membuat Via betah berlama-lama bersama mereka.
"Ibu membelikan hadiah ini untukmu, Nak", wanita itu berkata lembut. Perlahan lengannya meraih sebuah kotak berwarna biru. Via merengut, "hadiah? dalam rangka apa?". Wanita itu hanya tersenyum, "bukalah", ucapnya.
Via membuka kado itu. Terlihat sepasang sepatu hitam bernomor sepatu 37. "Kau boleh memakainya, Nak", kembali wanita itu berkata. Via tertegun, kemudian ia pun perlahan mencoba sepatu itu. Terasa nyaman di kakinya, namun samar ia merasakan ada grafier timbul di bawah telapak kakinya. Dilepasnya sepatu itu. Cepat-cepat ia meraba bagian dalam sepatu itu. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika tangan mungilnya meraba tulisan timbul itu, Rei.
Mata sendunya memandang lekat wajah kedua orang tua yang ada di hadapannya. Mereka tersenyum. Via linglung, pandangannya mulai berkunang-kunang. Samar ia pun menghirup aroma wangi yang menyelimuti udara di sekelilingnya.
Kriiiiiiiiiiing... Kriiiiiiiiiiiiiiing ... Kriiiiiiiiiiiiiiiing
Via terbangun.
Dilihatnya sekeliling ruangan itu. "Ya Allah, ternyata tadi cuma mimpi"
Kriiiiiiiiiiing... Kriiiiiiiiiiiiiiing ...
Via pun tersadar, HPnya berdering.
"Halo..."
"Viaaaaa, kemane ajeeeeee. Aku udah nelpon berkali-kali kok gak diangkat-angkat... ampe pegel nih jari mencet redial muluuuuu...." Dari sebrang sana suara Melati terdengar sangat nyaring. Via menjauhkan handphone itu dari telinganya "Memel ngomong apa sih..."
"Vi... Via... hallo... nih anak ke mana lagi..."
"Memel, ini kan jam dua pagi... ada apa sih?" Via merengut mengamati jam duduk di atas meja.
"Cinta, aku tuh mu ngecek, kamu dah siap-siap belum? besok kan ada meeting di luar kota. Ketemu ma klien penting. Bos dah wanti-wanti musti prepare segala macem. Rencananya nih nego bisa nyampe seminggu. Ya... itung-itung refreshing aje... "
Melati tertawa. Via terdiam, masih terselimuti rasa kantuk. "Terus Via mesti nyiapin apa Mel?"
"Nyiapin diri biar fresh besok. Tidur yang nyenyak, packing barang-barang yang perlu. We'll have a great vacation for a week, honey", ucap Melati. "Hmmm....", Via bergumam. "Udah dulu ya say, bobo yang bener. Yuk ah". Klik, percakapan terputus.
Via terdiam sejenak, mengingat kembali percakapannya dengan Melati barusan, "Klien apa ampe meeting mesti seminggu???"
Kembali Via menyandarkan kepalanya menyentuh dinding. Tangan mungilnya memainkan rambutnya yang hitam legam. Setelah lama dia sadar, dia mencium wangi itu. Dilihatnya sekeliling kamar, sampai matanya tertuju pada botol EDT yang tumpah di mejanya. "Ya Allah, parfumnya tumpah", segera Via beranjak mengambil botol parfum itu. Hampir setengah isi botol itu telah menguap. Dan matanya pun tertuju pada kertas surat itu, ada yang berubah.
Diambilnya surat itu, surat yang kini kertasnya telah mengeras karena terbasahi parfum. Matanya menatap tajam tulisan yang muncul di bagian bawah. Tulisan yang sebelumnya tak terlihat saat surat itu kering. Tangannya bergetar, ada rasa sakit yang diam-diam menyelubungi hati rapuhnya.
***
"Hai, honey", Via menoleh ke arah suara itu. Melati melambaikan tangannya. Terlihat dua koper hitam menemaninya, "banyak betul ya bawaan Memel", guman Via dalam hati. Via melihat jam tangannya, jam tujuh pagi, jalan Gatot Subroto itu sudah cukup ramai, namun udara segar masih dapat dihirupnya dalam-dalam. "Memel, bawa apa aja sih ampe dua koper gitu?", Via mengamati dua koper itu, "Waaaa, Mel, koper baru ya? Via baru liat. Bagus ya... beli di mana Mel?", mata Via berbinar melihat koper-koper itu. Melati tertawa, "biasa Vi, dari cayangku tercinta."
"Ooo...", Via terkagum-kagum. "Vi, gimana EDT nya? wangi banget kan ya? Dulu cayangku suka pake itu, tapi sekarang dah ganti ke Ferari. Dia bilang biar lebih gaya...", Melati tertawa namun berhenti segera ketika wajah sahabatnya itu terlihat kaku. "Vi, kenapa?", Melati bertanya ragu-ragu. Via tertawa tiba-tiba, "nggak, gak kenapa-napa. Kayaknya Via masuk angin deh, abis tadi gak sarapan...". Melati mengamati wajah Via, kini wajah itu kembali berbinar, "kalo gak enak badan bilang ya. Jangan disembunyiin, ntar pas meeting gak ada P3K loo...", ucap Melati sambil tertawa. Via mengangguk dan tersenyum. Pikirannya mulai memanipulasi, mencari penghibur hati.
Dari arah tempat parkir kantor itu, dua orang laki-laki sedang mengamati kedua gadis itu. "Bukankah itu nona Via, Pak?", ucap salah seorang di antara mereka. "Mungkin", ucap seorangnya lagi sambil mengamati sebuah foto berukuran 3R yang telah dipegangnya sejak tadi. Bibirnya tersenyum simpul. Dimasukkannya foto itu ke dalam jas hitamnya. Tangannya mengeluarkan kacamata hitam dari saku celananya, mengambil Macbook pronya, dan bergegas keluar dari mobil itu. "Pak Diman, ini akan tetap jadi rahasia", ucapnya pada sopir itu. Pak Diman tersenyum dan mengangguk. Mobil Mercedez itu pun melaju meninggalkan laki-laki berkaca mata hitam itu. Kembali dia mengamati Via dari jauh, "Yoroshiku, Via", gumamnya dalam hati. Ia pun memasuki gerbang utama kantor itu, menghadap resepsionis, dan bergegas menuju ruang meeting.
Bersambung
*Gambar diambil dari web ini dan ini.
0 comments:
Post a Comment