Sunday 13 July 2008

Ordinary people

A: Apa pendapatmu tentang orang itu?
B: Dia... Aku sering melihatnya menghabiskan waktu berjam-jam di taman. Hanya untuk melamun. Bayangkan, dia membuang waktu tiap harinya untuk melamun. Kurang kerjaan sekali. Dia mengerjakan hal yang sia-sia. Apa coba yang dipikirkan orang seperti itu?
A: Berapa lama kau kenal dia?
B: Baru-baru ini, dikenalin sama temen.
A: Berapa lama kau berinteraksi dengannya?
B: Jarang, hanya pernah berbicara dengannya sekali dua kali. Tapi aku sering melihatnya melamun berlama-lama di taman itu. Sungguh perbuatan yang sia-sia.
A: Jadi dalam hitungan satu minggu, total waktumu berinteraksi langsung dengannya berapa lama?
B: Kalau ditotalkan... mungkin hanya tiga jam. Mmm... mungkin kurang, aku tak begitu dekat dengannya.
A: Kau tau apa yang dia lamunkan di taman itu?
B: Tidak.
A: Lalu kenapa kau menganggap itu perbuatan sia-sia?
B: Ah, ayolah. Ini jaman modern, waktu adalah uang. Bagaimana negara bisa maju kalo orang-orang hanya melamun dan melakukan hal yang sia-sia?
A: Kau tidak tau apa yang dia lamunkan tapi kau bisa langsung menganggap itu sia-sia?
B: Hmm... aku melihat kenyataan itu dengan mata kepalaku sendiri, salahkah bila aku menyimpulkan itu perbuatan sia-sia?
A: Kau tau apa yang dilakukannya malam hari?
B: Tidak.
A: Tiap malam ia bermunajat pada Allah, ia tundukkan dirinya di hadapan Rabbnya. Air mata yang jatuh di atas sejadahnya adalah saksi bisu. Tiap hari ia meluangkan waktu dua jamnya di taman itu. Ia merenungkan apa yang telah ia lakukan kemarin, dan menyusun rencana untuk hari esok. Apakah kegiatan melamunnya itu sia-sia?
B: Jika seperti itu... tampak bukan hal yang sia-sia.
A: Apakah kau juga tau ia donatur tetap sebuah panti asuhan?
B: Tidak.
A: Apakah kau juga tau dia rajin shaum sunnah?
B: Tidak.
A: Apakah kau tau seberapa banyak ilmu Allah yang dikuasainya?
B: Tidak.
A: Apakah kau tau kadang ia pun memuroja'ah hafalan Al-Qur'annya di taman itu?
B: Tidak.
A: Lalu kenapa kau menganggap kegiatan melamunnya sia-sia?


***
A: Kau kenal dia?
B: Ya, dia orang yang hebat. Jam terbangnya tinggi. Ia aktif di berbagai organisasi. Ia berakhlak baik, sangat santun.
A: Kau pikir dia orang yang hebat?
B: Tentu, apa ada istilah lain untuk orang seperti itu? Orang tuanya pasti sangat bangga.
A: Apakah kau tau setiap malam Ibunya sering menangis?
B: Ibunya pasti menangis mendo'akan anak kesayangannya. Pasti begitu. Ibunya pasti amat sayang padanya sampai ia menangis karena bahagia.
A: Kenyataannya tidak seperti itu.
B: Apa maksudmu?
A: Ibunya menangis karena sedih. Anak itu terlalu sibuk di luar. Ia hampir melupakan keluarganya.


***
A: Kau senang melihat orang itu?
B: Ya. Ia orang yang sangat periang. Ia selalu tersenyum pada siapa pun. Ia punya segalanya. Hampir aku iri padanya. Ia tampak bahagia tiap hari. Tidak pernah kulihat wajahnya sendu karena kesedihan.
A: Apakah kau bersamanya tiap hari?
B: Tidak, tapi aku akan sangat bahagia bila bisa bersamanya lebih lama. Ia teman yang sangat menyenangkan. Jika di dekatnya kau akan terbawa bahagia. Ia mudah tertawa, membawa suasana riang di mana saja.
A: Kau tau ia sering menangis?
B: Ah, mana mungkin. Ia tak punya alasan untuk menangis, ia tampak bahagia tiap hari. Ia punya segalanya.
A: Kenyataannya ia sering menangis.
B: Benarkah? Tapi mana mungkin.
A: Ia menangis karena kesepian.
B: Itu sangat tidak mungkin! Kalaupun ia kesepian, mengapa ia tidak membaginya denganku? Aku akan dengan senang hati menghiburnya.
A: Justru karena engkau menganggapnya orang yang periang, ia jadi enggan membagi kesedihannya.
B: Benarkah?
A: Seharusnya kau bisa lebih peka.


***
A: Kau kenal dia?
B: Ya, ia anak yang sangat manja, juga keras kepala. Ya Tuhan... kalau kau melihatnya kau pasti langsung ill feel. Dikit-dikit dia mengeluh, dikit-dikit bermanja-manja, dan sangat cerewet. Sungguh bukan tipe calon ibu yang baik.
A: Seberapa sering kau berinteraksi dengannya?
B: Sangat jarang. Untuk mengenalnya lebih dekat saja aku enggan. Bukankah kita harus pandai-pandai memilih teman? Kadang aku merasa gaya hidupnya sangat hedon. Ia sangat royal. Bisa kau bayangkan... uang yang ia habiskan mungkin cukup untuk menanggung uang makanku selama satu bulan. Ya Tuhan... kadang aku tak habis pikir. Bukankah wanita itu tiang negara? Bagaimana negara maju kalo wanitanya seperti itu?
A: Kau membawa nama Tuhan, menarik. Apakah kau pernah mengikuti kegiatan sehari-harinya selama satu minggu?
B: Tentu tidak. Untuk apa aku menghabiskan waktu bersama anak manja seperti itu? Itu hanya akan jadi hal sia-sia.
A: Kau pernah melihatnya mengajar?
B: Apa?! Mengajar?! Aku tak membayangkan anak cengeng seperti itu mengajar. Ya Tuhan... membayangkannya pun sulit. Mungkin anak didiknya diajarin hal yang nggak-nggak. Mungkin diracuni dengan gaya hidup hedonnya. Sungguh kasihan anak-anak didiknya.
A: Kau pernah menjadi anak didiknya?
B: Tentu tidak. Kau ini ada-ada saja.
A: Lalu kenapa kau menyimpulkan ia guru yang tidak baik? Salah seorang muridnya berkata ia guru yang paling menyenangkan.
B: Aku tidak percaya. Mana mungkin anak hedon seperti itu jadi guru yang baik?!
A: Gaya hidupnya itu justru jadi modal. Ia seperti anak kecil, karena itu ia bisa menyelami jiwa anak-anak didiknya. Ia sering bermain, kau menyebutnya hedon. Tapi justru karena itulah ia bisa nyambung ngobrol dengan anak didiknya. Ia mengajar tepat sasaran juga tepat teknik. Ia pandai bicara, kau menyebutnya cerewet, tapi dengan itulah ia menjadi guru yang baik, ia menyampaikan ilmu dalam bahasa yang mudah dimengerti anak didiknya. Kau pernah menjadi guru? atau tutor mungkin?
B: Ya, aku pernah mengajar privat, digaji perjam.
A: Berapa banyak murid yang kau punya?
B: Kelas kecil, sekitar 4-5 orang.
A: Mungkin kau perlu mencoba mengikuti arus hidup anak hedon itu selama seminggu.
B: Kenapa?
A: Ia meluangkan waktu dua jamnya per hari, mengajar suatu kelas besar, dan gratis.
B: Ah, itu tidak mungkin, ia anak yang royal, dia pasti termasuk cewek matre juga, tidak mungkin ngasi les gratis.
A: Kau belum pernah mencoba gabung dalam kehidupannya, kenapa cepat sekali menyimpulkan sesuatu?
B: Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ia sangat royal, materialistis.
A: Anak hedon itu menyisihkan sebagian uang bulanannya untuk shodaqah. Kalau dia sering belanja, bukan salahnya jika ia terlahir sebagai anak orang kaya. Dan bukan pula salahnya jika ia besar di keluarga yang penuh cinta hingga ia tumbuh menjadi anak yang sedikit manja.
B: Ah, itu hanya pembenaran. Keluargaku juga keluarga bahagia penuh cinta, tapi aku tidak manja. Dan ingat, kalo mau siapapun bisa ngasi les gratis.
A: Kalau mau. Ya tentu, kalau mau. Apakah kau juga tau apa yang dia lakukan tiap malam?
B: Tidak.
A: Ia menyisihkan waktunya menghafal Al-Qur'an. Ia menghiasi malam-malamnya dengan qiyamul lail.
B: Benarkah?
A: Kau belum pernah benar-benar masuk dalam dunianya. Harusnya engkau coba.
B: Aku sangsi dia seperti itu.
A: Itu karena kau tidak kenal dia. Engkau hanya tau sekelumit saja dari kesehariannya.
B: Ya, dan aku menganggap apa yang dia lakukan itu sangat sia-sia.
A: Kau ingin tau fakta yang lain lagi?
B: Apa?
A: Anak itu sering bermain ke desa terpencil di akhir minggu. Ia kadang memberi penyuluhan.
B: Ah, anak hedon itu. Tampak tidak mungkin.
A: Ia juga merintis industri kecil di desa itu. Ia merekrut banyak pegawai di sana. Hebat bukan? Usahanya mengurangi jumlah pengangguran.
B: Anak itu...
A: Ya, anak yang kau sebut hedon dan manja. Ia sudah berkontribusi nyata. Apa yang telah engkau lakukan untuk masyarakat sekitarmu?
B: Belum ada.
A: Jadi anak manja itu mengalahkanmu?


***
A: Kau mengaguminya?
B: Ya, mungkin ia adalah tipe suami ideal. Dia ganteng, kaya, sangat baik, dan sangat pintar. Apalagi yang perempuan cari dari seorang laki-laki kalo bukan itu semua? Kadang keberadaannya membuat minder. Kalo engkau berada di dekatnya, kau akan sangat menyadari adanya jurang yang sangat tinggi.
A: Tidak semua perempuan mencari hal seperti itu. Yang utama itu adalah ketentraman. Kau yakin ia bisa membahagiakan istrinya?
B: Tentu.
A: Kau tau mengapa ia belum menikah?
B: Mungkin... ya, bisa kau bayangkan... hidupnya sangat settle, dia pasti mencari istri yang setara dengannya. Jangankan dia, aku pun akan melakukan hal yang sama, mencari yang setara. Kau menikah satu kali, tentu saja kau ingin mencari seseorang yang sesuai denganmu.
A: Hmm... kau tau apa yang dia katakan?
B: Tidak, tapi aku sangat ingin tau.
A: Kemapanannya tidak selamanya menguntungkan. Justru karena hal itu, ia sulit menemukan perempuan yang benar-benar mencintai dirinya, bukan mencintai hartanya.
B: Benarkah?
A: Tidak selamanya hal-hal yang membuatmu iri itu menguntungkan.
B: Kau menyarankan aku mensyukuri diriku apa adanya?
A: Tentu. Memangnya apa yang kau dapatkan dengan terus membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain? Kau jadi lelah sendiri bukan?


***
A: Berapa lama engkau mengenalnya?
B: Sudah setahun... hmm... mungkin lebih.
A: Apa kesan pertamamu terhadapnya?
B: Ia... sangat tidak ramah, ia juga tinggi hati. Oh iya, dia juga sangat galak, kalau kau bertemu dengannya kau pasti akan jengkel padanya. Aku tak habis pikir mengapa ada anak seperti itu.
A: Berapa umurnya?
B: Mungkin sekitar 25. Ah tapi kalau bersamanya kau hanya akan geleng-geleng kepala. Ia sangat tidak dewasa.
A: Dan kau sudah mengenalnya kurang lebih satu tahun?
B: Ya.
A: Kau tau apa yang dialaminya 24 tahun silam?
B: Maksudmu?
A: Ya, kau bilang dia berumur 25, dan kau baru mengenalnya satu tahun. Apa yang kau ketahui tentang kisah hidupnya selama 24 tahun sebelum kalian berkenalan?
B: Aku tidak tau. Untuk apa aku tau, kaya orang kurang kerjaan saja.
A: Ia pernah mengalami masa-masa sulit. Karena itulah ia jadi kurang ramah padamu.
B: Aku tidak ada hubungan dengan masa lalunya, kenapa ia marah-marah padaku?
A: Kau pikir trauma itu bisa hilang dalam waktu sekejap?
B: Tidak.
A: Ya, kau tidak akan pernah tau jika belum mengalaminya langsung.
B: Aku tidak mau trauma. Itu pasti mengerikan. Bagaimana aku menjalani hidup dengan baik kalo aku habiskan waktuku dalam fase trauma?!
A: Jika kau bisa berspekulasi seperti itu, harusnya engkau pun bisa lebih sabar menghadapi temanmu itu.


***
A: Kau kenal orang itu?
B: Ya, ia orang terkenal. Siapa sih yang gak kenal dia. Pemikirannya brilian. Dia juga pekerja keras, sangat serius kalo menghandle sesuatu. Ia sangat disiplin terhadap waktu, tak heran kalo ia masuk jajaran orang sukses. Pemikirannya mendalam dan terstruktur, pokoknya dia orang yang hebat. Semua orang mengaguminya.
A: Kau yakin semua orang mengaguminya?
B: Ya tentu, tak ada alasan untuk tidak mengagumi orang itu. Dia berpikiran jauh ke depan, penuh pertimbangan, sangat terstruktur.
A: Kemarin ia membuat seorang perempuan menangis.
B: Ah, pasti perempuan itu cengeng, atau mungkin ia teledor dalam pekerjaannya.
A: Perempuan itu bukan karyawatinya. Ia temannya.
B: Lalu kenapa ia menangis? Patah hati?
A: Hahah, tidak...tidak, bukan patah hati.
B: Lalu?
A: Kau tadi menyebutkan ia orang yang serius, dan berbagai sifat hebat yang lainnya.
B: Ya. Lantas?
A: Orang itu terlalu asik dengan dunia kesuksesannya. Ia melupakan hal-hal sederhana yang sifatnya sosial.
B: Apa hubungannya dengan perempuan tadi?
A: Kau pernah dengar celotehan: orang yang sukses dalam karir belum tentu sukses dalam cinta?
B: Ya, kenapa emangnya?
A: Orang itu kurang aware dengan hal-hal kecil, ia menyamakan cara menghandle perempuan dengan cara menghandle kerjaan.
B: So?
A: Ia selalu beranggapan apa yang dilakukan teman perempuannya sebagai hal yang sia-sia, tidak istimewa, tidak penting, buang-buang waktu.
B: Ya Tuhan... konyol sekali. Mungkin ia lupa bersosialisasi, atau mungkin ia tidak sempat belajar psikologi.
A: Yah... dia orang yang baik, hanya saja pikirannya kurang terbuka.
B: Ah, kau kan tau. Itu hanya masalah ego laki-laki barangkali.
A: Yah, ungkapan men are from Mars and women are from venus mungkin ada benarnya. Laki-laki dan perempuan bicara dengan bahasa yang berbeda. Punya pandangan yang beda terhadap sesuatu, dan tentu saja, punya kebiasaan yang beda dalam mengekspresikan sesuatu.


***
A: Seandainya ada yang berkata sesuatu yang negatif tentang dirimu, apa yang akan kau rasakan?
B: Sedih mungkin.
A: Kalau engkau sedih, maka orang lain pun akan seperti itu. Harus dibiasakan berhati-hati memilih kata-kata.
B: Ya, tentu. Belajar menghormati perbedaan.
A: Sekarang... kau dan aku ngobrol cukup lama di sini. Ditemani jus, iringan musik, dalam sebuah restoran terkenal. Di luar sana, mungkin ada yang berpendapat, kau dan aku melakukan perbuatan yang sia-sia. Hedon mungkin, istilah yang sering kau ucapkan. Apakah kau akan sedih mendengar hal itu? Marah mungkin?
B: Hmm... sedih mungkin, tapi kalo marah...tidak.
A: Mengapa?
B: Orang itu berpendapat buruk tentang kegiatan ini karena ketidaktahuan.
A: Cerdas. Jangan biarkan perkataan orang membuatmu sedih. Kata-kata orang tidak lantas menambah atau mengurangi kualitas dirimu. Engkau tidak perlu orang lain untuk menegaskan nilai dirimu sendiri. Selama kau punya dasar dalam berperilaku, manfaat lebih besar dari mudharat, bisa mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan Sang Khalik, biarkanlah dirimu berkembang.
B: Tentu.
A: Orang yang berpendapat buruk tentang dirimu belum tentu punya kuasa memberi safaat dan manfaat di hari akhir. Gunakan, nikmati, dan hidupkanlah hidupmu.
B: Ya. Terkadang tak sadar aku menilai seseorang sekenanya, padahal aku tidak tau betul hidup kesehariannya, apalagi isi hatinya. Kadang aku menilai secara kasat mata saja. Bisa jadi sudah banyak orang yang sakit hati karena penilaianku yang tak tepat itu.
A: Hidup itu proses. Yang beruntung adalah yang sering berpikir dan berusaha mencari ibrah dari tiap hal, yang sekilas mungkin bukan hal yang berguna. Sekilas kita anggap itu sia-sia. Tidak ada yang diciptakan di bumi ini sia-sia. Kita menganggap suatu hal tidak penting karena ketidaktahuan.
B: Kau menyarankan aku menuntut ilmu lebih banyak ya?
A: Tepat sekali. Kau ingat hakikat tujuan penciptaan manusia?
B: Khalifah?
A: Ya. Khalifah yang baik adalah yang bisa berbicara dalam berbagai bahasa...bahasa anak kecil, bahasa ABG, bahasa sepuh. Bisa merangkul semua lapisan, mulai dari rakyat kecil sampai pejabat tinggi. Punya ilmu yang luas, mulai dari agama, sosial, ekonomi, psikologi, bahkan teologi. Harus bisa merakyat, tidak eksklusif. Supel dalam bergaul, tidak hanya memilih aman di lingkungan homogen.
B: Tampak berat.
A: Tidak berat jika prosesnya dinikmati dan dihayati.
B: Optimis?
A: Kalau menurutmu menjadi pesimis lebih menguntungkan, kau pilih saja peran sang pesimis. Saat engkau berbuat baik, yang akan menuai hasilnya ya dirimu sendiri. Tapi yang pasti, harus belajar sabar dan ikhlas dalam menghadapi hidup. Semua orang memiliki dunianya masing-masing, sepaket dengan karakteristiknya. Mungkin ada yang beririsan, mungkin ada yang berbenturan. Sang pesimis mungkin berharap semua orang memiliki karakter yang sama dengan dirinya, sepaham sepemikiran, sejalan seiringan. Kau mau masyarakat seperti itu?
B: Tidak. Jika semua orang seperti itu, dunia akan sangat membosankan. Asal tidak berbenturan dengan syariah, aku kira tiap orang berhak memiliki keunikan masing-masing.
A: Betul. Everyone deserves to have a unique outstanding world. Perlu diingat juga, kamu tidak bisa memaksa orang sepaham dengan dirimu, kamu tidak bisa memaksa semua orang berpendapat baik tentang dirimu... dan memang jangan pula kamu punya keinginan seperti itu.
B: Ya, tentu. Yang paling utama bukanlah pendapat manusia, melainkan pendapat Allah.


***
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olok). Janganlah kamu mencela dirimu sendiri (baca: sesama saudara seiman) dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk (berbau kefasikan) sesudah seseorang beriman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(11)

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (12)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (13)

[Q.S. Al Hujurat: 11-13]


Astaghfirullaahal'adzim
Astaghfirullaahal'adzim
Astaghfirullaahal'adzim

6 comments:

ganDA RAHman garNADI said...

this is the best writing you've ever been made....
(five thumbs up!)

Anonymous said...

four thumbs up!

@ganda: klo five satu lagi thumbnya siapa? :P

ganDA RAHman garNADI said...

pinjem punya kamu dong...
(sahaa deuih...)

Rachmawati said...

Alhamdulillah, moga banyak manfaat buat semuanya [lagi mendoktrin diri sendiri sebenernya :D].

Gan, sebenernya kan cuman perlu ngangkat satu jempol, terus jempolnya deketin sama dua cermin datar yang membentuk sudut 72 derajat, bakalan ngasilin 4 bayangan tuh. Jadi pas lima :D

Anonymous said...

haiah.. pake cermin segala
dasar ilmuwan nih

Rachmawati said...

hehehe, kan biar rame :D

Popular Posts